Bab III : SAKIT JIWA
“Mangga, neng , dimakan atuh KUTIL-NYA!” Ujar Bi Minah.
“Okeh, coz, sebelum elo-elo pada terlanjur bingung sama banyaknya kata KUTIL dalam novel gua, ini disebabkan karena Bi Minah punya kebiasaan latah menyebutkan kata KUTIL; dan ini berpengaruh pada perkembangan psikologis Bobi yang lantas gemar memaki dengan kata KUTIL! Maka kesimpulanya, Bobi adalah cowok KUTIL!)
“...?????”
“Eh, maksud Bibi gogodoh-nya!”
“Gogodoh?”
“Iya, gogodoh, kenapah,Neng Monda tidak suka?”
“Maksud Monda,gogodoh itu artinya apa?”
“Oh, maaf atuh, neng Monda gogodoh itu artinya cau dipasihan terigu, digoreng...” Bi Minah berusaha menjelaskan. Ia keceplosan.
“...?” Monda makin tambah benggong.
“Gogodoh itu bahasa Sunda di serang-banten, artinya pisang,dikasih terigu,di goreng ditu lho..., Neng Monda!” Mang Dadang menegaskan sambil terkekeh.
“O...Fried banana...!” Monda lantas mencomot sepotong pisang goreng yang montok dan masih hangat,
“Frieed...banana...? Apa itu, Neng?” Gantian Bi Minah yang bengong.
` “Ya, sama aja, Bi, pisang goreng...alias gogodoh...!” Bobi menjelaskan.
Bi Minah, istri Mang Dadang, kemudian masuk ke dapur dan segera muncul kembali membawa empat buah cangkir teeh hangat.
Mang Dadang dan Bi Minah sudah dianggap keluarga sendiri. Sejak Bobi masih dalam kandungan, mereka sudah bekerja pada keluarga Bobi sebagai pembantu rumah tangga. Setelah ayah Bobi meninggal, mereka tetap memohon untuk diizinkan tinggal meskipun tak mendapat upah. Untuk mencari makan, Bobi mempersilahkan pekarangan rumah keluarganya dijadikan warung nasi dan gorengan oleh sepasang suami-istri itu. Maklum, rumah Bobi berada tidak jauh dari sebuah pertigaan di Jakarta Selatan, dekat dengan pusat keramaian.
“Bob, gue bawa oleh-oleh buat elo! Coba tebak!”
“Salak Bali!”
Monda menggeleng.
“Pasti jeruk Bali!”
Monda masih menggeleng
“Apa dunk, Bom Bali?”
Monda terkekeh, tetap menggeleng.
“Nah..., ini pasti betul! BUAH INTERNASIONAL?!”
“...?????” Monda benggong.
“Ntuh..buah-buah segar di balik bra cewek-cewek bule yang bejejer di pesisir Kuta!”
“Bobi! Pikiran elo tuh ya, Begonoan melulu!”
“Habis, elo bawa oleh-oleh apa dunk, Mon...?!”
“Nich...bagus kan...!” Monda memamerkan kemeja santai bewarna dasar putih dan biru laut yang sengaja dibelinya di pasar seni sukowati untuk Bobi.
“Oo..., gua kira apaan!” Bobi cuek aja menyambut pemberian Monda. Wajah Monda kontan cemberut. Ia melempar kemeja itu ke arah wajah Bobi yang lantas tertawa lepas dan memencet hidung Monda.
Bobi meletakan diary warisan ayahnya, saat pintu kamarnya berderit. Dilihatnya Monda menyembulkan kepala. Cewek hitam manis itu memakai jeans belel, dipadu kemeja putih lengan pendek bermotif pemandangan laut.
“Bob, gua boleh masuk kan?”
“...?”
“Boleh nggak, gue tidur-tiduran di kamar lo?”
“Mon, sejak kapan badan inteligen negara melarang elo masuk ke kamar gue?”
Monda tersenyum, melangkah masuk, melemparkan topi yang dikenakannya. Ia lantas membenamkan diri diatas tempat tidur, disisi Bobi yang tengah asik bersandar sambil membolak-balik halaman diary tua warisan ayahnya.
Sesaat keduanya terdiam , asik dengan alam pikiran masibng-masing.
Bobi bangkit dari tempat tidur, membuka lemari pakaiaanya, dan segera kembali dengan sebuah bingkai foto ayahnya. Dipandangnya foto itu berlama-lama. Ayahnya dikabarkan hilang dalam tugas meliput kehidupan suku Dani dipedalaman Papua. Diduga, ayahnya menjadi korban kemarahan penduduk setempat yang bersimpatik kepada kelompok yang mengiginkan Papua merdeka. Sementara ibunya? Ah, Bobi hanya mengenal wajah ibunya dari foto album kenangan pernikahan ayah dan ibunya. Almarhumah ibunya meninggalkan Bobi, seminggu setelah melahirkan.
“Udah deh, Bob, jangan larut gitu!” Monda bangkit dari posisi tidurnya, ikut bersandar di samping Bobi.
Dipandangnya pemuda tanggung yang sangat dekat dengannya itu. Bobi , lengkapnya Bobi van Kendeng. Remaja konyol bertubuh kurus jangkung. Dengan garis-garis wajah sekukuh karang. Dia punya mata yang kuat. Tatapannya elang liar. Namun ada saatnya matanya itu seteduh dan sebiru lautan, kadang seromantis senja di pantai. Dan kini, kini mata itu semuram malam . Bobi berhenti membolak-balik halaman diary ayahnya, meletakkanya dimeja belajar dekat tempat tidur.
“Gue nggak nyangka, elo harus secepat ini jadi yatim piatu, Bob.”
“Menurut lo ini adil nggak?”
“hmmmhh...,” Monda menggangkat bahu, “hidup, kan emang kayak gitu, Bob. Bye the way, jadi alasan ini elo, botak kayak raja tuyul, Bob?”
“Mungkin, but, nih , kepala botak punya nilai filosofis.”
“...?”
“Beberapa hal yang gua maksud bernilai filosofis pada kepala botak, khususnya untuk lelaki adalah sebagai berikut :
botak simbol kebebasan,botak itu khas lelakim dan,botak itu seksi dan imut.
“Lo harus tanggung jawab atas ucapan lo barusan, Bob!”
“Pertama, botak itu simbol kebebasan . Sebab cuma dengan kepala botak kita nggak perlu terpenjara dengan aneka gaya rambut dan nggak perlu repot-repot ngerapiin rambut tiap mau pigi kuliah, kencan, ketemu presiden, atau aktivitas apapun.”
“Itu sih bukan simbol kebebasan, tapi simbol kemalasan lo Bob!”
“Oke, bisa gue terima. Tetapi tetap, gua mengibaratkan rambut sebagai simbol dari sebuah nilai dan norma. Membotakkan rambut kita, dengan sendirinya adalah sebuah upaya membebaskan diri kita.”
“Oke, next!”
“Botak itu khas lelaki! Sebab sebagaimana kata pepatah, 'Rambut adalah mahkota perempuan'. So, rambut identik dengan simbol keperempuanan. Lelaki tidak perlu dipusingkan dengan urusan gaya rambut hingga botak kayak tuyul, seorang lelaki akan bertambah macho!. Contoh realnya bisa elo liat sendiri, lelaki yang berdiri di hadapan elo ini, yaitu gua, Si Bobi Ganteng!”
“Muke lo!” Monda memonyongkan bibirnya.
“Point terakhir, botak itu seksi dan imut, bisa diperdebatkan! Sebab ini tergantung selera, hehehehe...ini namanya filsafat selera!”
BLEUGG!!
Monda menghantam Bobi dengan bantal guling. Bobi ketawa jagkrik.
“Neng Monda, kamar tamunya sudah Bi Minah rapikan.” Kepala Bi Minah menyembul dari balik pintu kamar Bobi.
“Bob...,” Monda menggeleng, “gue takut sendirian.”
“Sama Bi Minah atu bobonya, neng Mpnda!”
“Bob...please...!” rengek Monda.
Monda mengamati dengan seksama Bi Minah. Perempuan tua itu sudah terlelap dibuai mimpi, pikirnya. Monda melihat jam di ponselnya pukul 22.00. cewek hitam manis itu bangkit perlahan, mengendap-endap,berjalan berjingkat. Ia memutar ganggang pintu.
“Sial, pake dikunci segala lagi!”
Monda mematung sesaat. Binggung.
“Bi...., Bi Mibah..., KUTIL pintu kamar mana?” Ups. Kok gue ketularan VIRUS KUTIL, ya?
Bi Minah tidur terlelap sekali. Dengkur halus terdengar, menandakan betapa ia butuh istirahat. Monda mematung lagi. Seba salah jadinya.
“Bi...., Bi Minah...!” Monda menaikan tangga nada suaranya.
Bi Minah cuma ubah posisi tidur, membelakangi Monda.
“Bi Minah...., Bi Minah..., kunci pintu kamar mana? Monda kebelet, mau pipis neeh!” Monda berkata keras-keras sambil menepuk-nepuk bahu Bi Minah.
“KUTIL!!!!KUTILLLL!!! Eh KUTIL..!!!!!! KUTIL KEBAKARAN!!! BANJIR KUTILL!!! KUTIL GEMPA!!!!! WABAH KUTIL!!!! SETAN KUTIL!!!!!! Eh, aya noon, neng?! Aya gempa kitu?!” Bi Minah bangun tergerap.
“Monda mau pipis, Bi Minah. Kamarnya dikunci. Sini, kuncinya Monda yang pegang!” Bi Minah menyerahkan kunci kamar pada Monda, dan langsung terlelap kembali.
“Monda nyengir tak berdosa. Ia melangkah menuju kamar Bobi. Kepala menyembul dari balik pintu dan mulai basa-basi tolol, “Bob, gua boleh masuk?”
Bobi menguap.
“Boleh kagak,gue tidur bareng elo!: sentak Monda seraya melemparkan anak kunci ke wajah Bobi yang lekas-lekas mengelak.
Monda nyelonong masuk kamar. Dilihatnya Bobi hanya mengenakan kaos dalam dan sarung cap singa nungging melilit bagian bawah tubuhnya. Bobi berbaring di tempat diur sambil membolak-balik halaman diary tua ayahnya, Bob Revolta, seorang wartawan dan pecinta alam yang dikabarkan hilang di belantara Papua.
“Mon, besok ikut gua hunting barang-barang yuks!” ujar Bobi sambil menggeliat dan menguap panjang.
“Barang-barang apaan sih Bob?” Monda membelakangi Bobi, asyik memeluk bantal guling.
“Ransel, sleeping bag, matras, ponco, kompor paraffin, nesting, sepatu gunung, engngng....,apa lagi ya..., survival kit, perlengkapan P3K, dan kompas!”
“Hah, elo mau naik gunung?”
“Yep, kurang lebih begitu!”
“Wah, elo korban jejak petualangan, Bob!”
“Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada selogan patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat, kalau ia mengenal akan objeknya, dan mencintai tanah air Indonesia bersama rakyat dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
“MAKSUD LO....?!!!!” Monda membrengut kesal dan mencibir le arah Bobi uang masih cengengesan usai mendeklamasikan dengan ekspresif sepenggal kalimat milik Soe Hok Gie.
“Gua mau jadi orang gunung!”
“...????!”
“Gua mau tinggal di Baduy, Mon!”
“Bob, elo bercanda kan?”
“Serius!”
“Elo tuh sakit ya?”
“Sakit apaan, Mon?”
“SAKIT JIWA, tau!”
“Kayaknya sih iya, tapi cuma sentengah, sih!”
“Wah, bener-bener sakit nih orang! Nggak ngerti gue, Bob!”
“Iya, Mon, gue sakit jiwa tapi cuma setengah!”
“Sakit ½ jiwa, gitu? Mana ada, woy!”
“Gitu deh!”
“Heuh...yang bener elo, tuh, ' cemen', Bob! Cacat mental!”
“Sebenarnya, ada dua alasan yang memotivasi gua melakukan perjalanan ini”
“Jelasin ke gua!”
“Alasan pertama perjalanan gue ini, buat nemuin tempat ari-ari gua dikubur.”
“Emang ari-ari lo dikubur di mana, sih? Hongkong?!”
“Di Sasaka Domas, Mon! Gua Lahir di Baduy!”
BLEUG!!!!!JEBRUG!!!!!!!!GELEPOKK!!!!Bantal guling bertubi-tubi menghantam wajah Bobi. “Hah yang bener? Elo lahir di Baduy bob!?”
“Nah gua baru tahu!” Bobi menyerahkan diary ayahnya kepada Monda.
“Then, second one!” Pinta Monda, sambil tetap asik membaca catatan harian yang ditulis ayah Bobi.
“Alasan kedua...engngng..errr.errrr....kayajnya gua belum bisa menjelaskan sekarang deh, Mon!”
Monda melepaskan perhatiannya dari diary tua ayah Bobi, terbengong sejenak, kemudian, “What?! Kayak ama siapa aja lo?! Gue gebetan lo Botak! Selama ini, kita saling jujur dan terbuka. Truzz tiba-tiba elo ngerahasiakan sesuatu ke gua?! Emang tuyul lo!” cecar Monda sambil kembali menghantam wajah Bobi dengan bantal guling
“Ampun Mon! Suerrr..., sulit buat gue jelasin sekarang. Entar gua jelesin deh, setelah perjalanan ini selesai. Please..!”
“Ngantuk, Bob! Kita lanjutkan ngobrolnya di mimpi masing-masing aja ye, honey?!”
“iya, cayang!” jawab Bobi menggumam setengah sadar.
“Malam ini, biarin bokap sama nyokap gue kelimpungan. Nelepon polda metro jaya, 911, dan tim buser, karena nyangka anak gadis satu-satunya yang paling cantik,baik hati dan tidak sombong diculik seorang lelaki botak yang mirip jin Ifrit!. Biarin, biarkan dunia heboh, malam ini, kita bobo bareng ya, bob...!” Monda merabahkan dirinya, lalu mengecup mesra kepala botak Bobi yang mengkilat dipulas lampu kamar.
Lampu dimatikan.
Tok Tok Tok!
Pintu berderit. Hari belum pagi subuh. Bobi menguap panjang, menggeliat malas, mengusap muka dan berjalan ke arah pintu.
“Aya noon, Mang?” tanya Bobi yang mendapati si pengetuk pintu ternyata Mang Dadang.
“Den Bobi, punten yeuh..., Mamang mau tanya, neng Mondang kemana nya? Kasihan, Bi Minah kekunci di dalam kamar. Kuncinya dibawa sama neng Monda.”
“Ehhmmm...ngngngng...” Bobi bingung mesti menjawab apa.
Tiba-tiba monda muncul dengan wajah paling lugu sedunia, membuka pintu kamar Bobi lebar-lebar. Monda menguap dan mengucek mata. “Ini kuncinya, Mang!”
“...?”
“...?”
“Ini, mang Dadang. Kunci kamarnya! Katanya Bi Minah kekunci kok, malah pada bengong, sih!”
“Eh iya, Neng Monda. Maaf, permisi atuh!” Mang Dadang setengah gugup, bersikap seolah tak ada hal yang perlu dikhawatirkan apabila dua orang remaja beda kelamin bobo bareng.
Bersambung ke Bab IV
Diposting oleh
hendrayo
0 komentar:
Posting Komentar