Novel online

Silakan Baca Cerita-cerita yang saya sajikan di blog saya..silakan menikmatinya...

Bab III : SAKIT JIWA

“Mangga, neng , dimakan atuh KUTIL-NYA!” Ujar Bi Minah.
“Okeh, coz, sebelum elo-elo pada terlanjur bingung sama banyaknya kata KUTIL dalam novel gua, ini disebabkan karena Bi Minah punya kebiasaan latah menyebutkan kata KUTIL; dan ini berpengaruh pada perkembangan psikologis Bobi yang lantas gemar memaki dengan kata KUTIL! Maka kesimpulanya, Bobi adalah cowok KUTIL!)
“...?????”
“Eh, maksud Bibi gogodoh-nya!”
“Gogodoh?”
“Iya, gogodoh, kenapah,Neng Monda tidak suka?”
“Maksud Monda,gogodoh itu artinya apa?”
“Oh, maaf atuh, neng Monda gogodoh itu artinya cau dipasihan terigu, digoreng...” Bi Minah berusaha menjelaskan. Ia keceplosan.
“...?” Monda makin tambah benggong.
“Gogodoh itu bahasa Sunda di serang-banten, artinya pisang,dikasih terigu,di goreng ditu lho..., Neng Monda!” Mang Dadang menegaskan sambil terkekeh.
“O...Fried banana...!” Monda lantas mencomot sepotong pisang goreng yang montok dan masih hangat,
“Frieed...banana...? Apa itu, Neng?” Gantian Bi Minah yang bengong.
` “Ya, sama aja, Bi, pisang goreng...alias gogodoh...!” Bobi menjelaskan.
Bi Minah, istri Mang Dadang, kemudian masuk ke dapur dan segera muncul kembali membawa empat buah cangkir teeh hangat.
Mang Dadang dan Bi Minah sudah dianggap keluarga sendiri. Sejak Bobi masih dalam kandungan, mereka sudah bekerja pada keluarga Bobi sebagai pembantu rumah tangga. Setelah ayah Bobi meninggal, mereka tetap memohon untuk diizinkan tinggal meskipun tak mendapat upah. Untuk mencari makan, Bobi mempersilahkan pekarangan rumah keluarganya dijadikan warung nasi dan gorengan oleh sepasang suami-istri itu. Maklum, rumah Bobi berada tidak jauh dari sebuah pertigaan di Jakarta Selatan, dekat dengan pusat keramaian.
“Bob, gue bawa oleh-oleh buat elo! Coba tebak!”
“Salak Bali!”
Monda menggeleng.
“Pasti jeruk Bali!”
Monda masih menggeleng
“Apa dunk, Bom Bali?”
Monda terkekeh, tetap menggeleng.
“Nah..., ini pasti betul! BUAH INTERNASIONAL?!”
“...?????” Monda benggong.
“Ntuh..buah-buah segar di balik bra cewek-cewek bule yang bejejer di pesisir Kuta!”
“Bobi! Pikiran elo tuh ya, Begonoan melulu!”
“Habis, elo bawa oleh-oleh apa dunk, Mon...?!”
“Nich...bagus kan...!” Monda memamerkan kemeja santai bewarna dasar putih dan biru laut yang sengaja dibelinya di pasar seni sukowati untuk Bobi.
“Oo..., gua kira apaan!” Bobi cuek aja menyambut pemberian Monda. Wajah Monda kontan cemberut. Ia melempar kemeja itu ke arah wajah Bobi yang lantas tertawa lepas dan memencet hidung Monda.



Bobi meletakan diary warisan ayahnya, saat pintu kamarnya berderit. Dilihatnya Monda menyembulkan kepala. Cewek hitam manis itu memakai jeans belel, dipadu kemeja putih lengan pendek bermotif pemandangan laut.
“Bob, gua boleh masuk kan?”
“...?”
“Boleh nggak, gue tidur-tiduran di kamar lo?”
“Mon, sejak kapan badan inteligen negara melarang elo masuk ke kamar gue?”
Monda tersenyum, melangkah masuk, melemparkan topi yang dikenakannya. Ia lantas membenamkan diri diatas tempat tidur, disisi Bobi yang tengah asik bersandar sambil membolak-balik halaman diary tua warisan ayahnya.
Sesaat keduanya terdiam , asik dengan alam pikiran masibng-masing.
Bobi bangkit dari tempat tidur, membuka lemari pakaiaanya, dan segera kembali dengan sebuah bingkai foto ayahnya. Dipandangnya foto itu berlama-lama. Ayahnya dikabarkan hilang dalam tugas meliput kehidupan suku Dani dipedalaman Papua. Diduga, ayahnya menjadi korban kemarahan penduduk setempat yang bersimpatik kepada kelompok yang mengiginkan Papua merdeka. Sementara ibunya? Ah, Bobi hanya mengenal wajah ibunya dari foto album kenangan pernikahan ayah dan ibunya. Almarhumah ibunya meninggalkan Bobi, seminggu setelah melahirkan.
“Udah deh, Bob, jangan larut gitu!” Monda bangkit dari posisi tidurnya, ikut bersandar di samping Bobi.
Dipandangnya pemuda tanggung yang sangat dekat dengannya itu. Bobi , lengkapnya Bobi van Kendeng. Remaja konyol bertubuh kurus jangkung. Dengan garis-garis wajah sekukuh karang. Dia punya mata yang kuat. Tatapannya elang liar. Namun ada saatnya matanya itu seteduh dan sebiru lautan, kadang seromantis senja di pantai. Dan kini, kini mata itu semuram malam . Bobi berhenti membolak-balik halaman diary ayahnya, meletakkanya dimeja belajar dekat tempat tidur.
“Gue nggak nyangka, elo harus secepat ini jadi yatim piatu, Bob.”
“Menurut lo ini adil nggak?”
“hmmmhh...,” Monda menggangkat bahu, “hidup, kan emang kayak gitu, Bob. Bye the way, jadi alasan ini elo, botak kayak raja tuyul, Bob?”
“Mungkin, but, nih , kepala botak punya nilai filosofis.”
“...?”
“Beberapa hal yang gua maksud bernilai filosofis pada kepala botak, khususnya untuk lelaki adalah sebagai berikut :
botak simbol kebebasan,botak itu khas lelakim dan,botak itu seksi dan imut.

“Lo harus tanggung jawab atas ucapan lo barusan, Bob!”
“Pertama, botak itu simbol kebebasan . Sebab cuma dengan kepala botak kita nggak perlu terpenjara dengan aneka gaya rambut dan nggak perlu repot-repot ngerapiin rambut tiap mau pigi kuliah, kencan, ketemu presiden, atau aktivitas apapun.”
“Itu sih bukan simbol kebebasan, tapi simbol kemalasan lo Bob!”
“Oke, bisa gue terima. Tetapi tetap, gua mengibaratkan rambut sebagai simbol dari sebuah nilai dan norma. Membotakkan rambut kita, dengan sendirinya adalah sebuah upaya membebaskan diri kita.”
“Oke, next!”
“Botak itu khas lelaki! Sebab sebagaimana kata pepatah, 'Rambut adalah mahkota perempuan'. So, rambut identik dengan simbol keperempuanan. Lelaki tidak perlu dipusingkan dengan urusan gaya rambut hingga botak kayak tuyul, seorang lelaki akan bertambah macho!. Contoh realnya bisa elo liat sendiri, lelaki yang berdiri di hadapan elo ini, yaitu gua, Si Bobi Ganteng!”
“Muke lo!” Monda memonyongkan bibirnya.
“Point terakhir, botak itu seksi dan imut, bisa diperdebatkan! Sebab ini tergantung selera, hehehehe...ini namanya filsafat selera!”
BLEUGG!!
Monda menghantam Bobi dengan bantal guling. Bobi ketawa jagkrik.
“Neng Monda, kamar tamunya sudah Bi Minah rapikan.” Kepala Bi Minah menyembul dari balik pintu kamar Bobi.
“Bob...,” Monda menggeleng, “gue takut sendirian.”
“Sama Bi Minah atu bobonya, neng Mpnda!”
“Bob...please...!” rengek Monda.



Monda mengamati dengan seksama Bi Minah. Perempuan tua itu sudah terlelap dibuai mimpi, pikirnya. Monda melihat jam di ponselnya pukul 22.00. cewek hitam manis itu bangkit perlahan, mengendap-endap,berjalan berjingkat. Ia memutar ganggang pintu.
“Sial, pake dikunci segala lagi!”
Monda mematung sesaat. Binggung.
“Bi...., Bi Mibah..., KUTIL pintu kamar mana?” Ups. Kok gue ketularan VIRUS KUTIL, ya?
Bi Minah tidur terlelap sekali. Dengkur halus terdengar, menandakan betapa ia butuh istirahat. Monda mematung lagi. Seba salah jadinya.
“Bi...., Bi Minah...!” Monda menaikan tangga nada suaranya.
Bi Minah cuma ubah posisi tidur, membelakangi Monda.
“Bi Minah...., Bi Minah..., kunci pintu kamar mana? Monda kebelet, mau pipis neeh!” Monda berkata keras-keras sambil menepuk-nepuk bahu Bi Minah.
“KUTIL!!!!KUTILLLL!!! Eh KUTIL..!!!!!! KUTIL KEBAKARAN!!! BANJIR KUTILL!!! KUTIL GEMPA!!!!! WABAH KUTIL!!!! SETAN KUTIL!!!!!! Eh, aya noon, neng?! Aya gempa kitu?!” Bi Minah bangun tergerap.
“Monda mau pipis, Bi Minah. Kamarnya dikunci. Sini, kuncinya Monda yang pegang!” Bi Minah menyerahkan kunci kamar pada Monda, dan langsung terlelap kembali.
“Monda nyengir tak berdosa. Ia melangkah menuju kamar Bobi. Kepala menyembul dari balik pintu dan mulai basa-basi tolol, “Bob, gua boleh masuk?”
Bobi menguap.
“Boleh kagak,gue tidur bareng elo!: sentak Monda seraya melemparkan anak kunci ke wajah Bobi yang lekas-lekas mengelak.
Monda nyelonong masuk kamar. Dilihatnya Bobi hanya mengenakan kaos dalam dan sarung cap singa nungging melilit bagian bawah tubuhnya. Bobi berbaring di tempat diur sambil membolak-balik halaman diary tua ayahnya, Bob Revolta, seorang wartawan dan pecinta alam yang dikabarkan hilang di belantara Papua.
“Mon, besok ikut gua hunting barang-barang yuks!” ujar Bobi sambil menggeliat dan menguap panjang.
“Barang-barang apaan sih Bob?” Monda membelakangi Bobi, asyik memeluk bantal guling.
“Ransel, sleeping bag, matras, ponco, kompor paraffin, nesting, sepatu gunung, engngng....,apa lagi ya..., survival kit, perlengkapan P3K, dan kompas!”
“Hah, elo mau naik gunung?”
“Yep, kurang lebih begitu!”
“Wah, elo korban jejak petualangan, Bob!”
“Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada selogan patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat, kalau ia mengenal akan objeknya, dan mencintai tanah air Indonesia bersama rakyat dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
“MAKSUD LO....?!!!!” Monda membrengut kesal dan mencibir le arah Bobi uang masih cengengesan usai mendeklamasikan dengan ekspresif sepenggal kalimat milik Soe Hok Gie.
“Gua mau jadi orang gunung!”
“...????!”
“Gua mau tinggal di Baduy, Mon!”
“Bob, elo bercanda kan?”
“Serius!”
“Elo tuh sakit ya?”
“Sakit apaan, Mon?”
“SAKIT JIWA, tau!”
“Kayaknya sih iya, tapi cuma sentengah, sih!”
“Wah, bener-bener sakit nih orang! Nggak ngerti gue, Bob!”
“Iya, Mon, gue sakit jiwa tapi cuma setengah!”
“Sakit ½ jiwa, gitu? Mana ada, woy!”
“Gitu deh!”
“Heuh...yang bener elo, tuh, ' cemen', Bob! Cacat mental!”
“Sebenarnya, ada dua alasan yang memotivasi gua melakukan perjalanan ini”
“Jelasin ke gua!”
“Alasan pertama perjalanan gue ini, buat nemuin tempat ari-ari gua dikubur.”
“Emang ari-ari lo dikubur di mana, sih? Hongkong?!”
“Di Sasaka Domas, Mon! Gua Lahir di Baduy!”
BLEUG!!!!!JEBRUG!!!!!!!!GELEPOKK!!!!Bantal guling bertubi-tubi menghantam wajah Bobi. “Hah yang bener? Elo lahir di Baduy bob!?”
“Nah gua baru tahu!” Bobi menyerahkan diary ayahnya kepada Monda.
“Then, second one!” Pinta Monda, sambil tetap asik membaca catatan harian yang ditulis ayah Bobi.
“Alasan kedua...engngng..errr.errrr....kayajnya gua belum bisa menjelaskan sekarang deh, Mon!”
Monda melepaskan perhatiannya dari diary tua ayah Bobi, terbengong sejenak, kemudian, “What?! Kayak ama siapa aja lo?! Gue gebetan lo Botak! Selama ini, kita saling jujur dan terbuka. Truzz tiba-tiba elo ngerahasiakan sesuatu ke gua?! Emang tuyul lo!” cecar Monda sambil kembali menghantam wajah Bobi dengan bantal guling
“Ampun Mon! Suerrr..., sulit buat gue jelasin sekarang. Entar gua jelesin deh, setelah perjalanan ini selesai. Please..!”


“Ngantuk, Bob! Kita lanjutkan ngobrolnya di mimpi masing-masing aja ye, honey?!”
“iya, cayang!” jawab Bobi menggumam setengah sadar.
“Malam ini, biarin bokap sama nyokap gue kelimpungan. Nelepon polda metro jaya, 911, dan tim buser, karena nyangka anak gadis satu-satunya yang paling cantik,baik hati dan tidak sombong diculik seorang lelaki botak yang mirip jin Ifrit!. Biarin, biarkan dunia heboh, malam ini, kita bobo bareng ya, bob...!” Monda merabahkan dirinya, lalu mengecup mesra kepala botak Bobi yang mengkilat dipulas lampu kamar.
Lampu dimatikan.



Tok Tok Tok!
Pintu berderit. Hari belum pagi subuh. Bobi menguap panjang, menggeliat malas, mengusap muka dan berjalan ke arah pintu.
“Aya noon, Mang?” tanya Bobi yang mendapati si pengetuk pintu ternyata Mang Dadang.
“Den Bobi, punten yeuh..., Mamang mau tanya, neng Mondang kemana nya? Kasihan, Bi Minah kekunci di dalam kamar. Kuncinya dibawa sama neng Monda.”
“Ehhmmm...ngngngng...” Bobi bingung mesti menjawab apa.
Tiba-tiba monda muncul dengan wajah paling lugu sedunia, membuka pintu kamar Bobi lebar-lebar. Monda menguap dan mengucek mata. “Ini kuncinya, Mang!”
“...?”
“...?”
“Ini, mang Dadang. Kunci kamarnya! Katanya Bi Minah kekunci kok, malah pada bengong, sih!”
“Eh iya, Neng Monda. Maaf, permisi atuh!” Mang Dadang setengah gugup, bersikap seolah tak ada hal yang perlu dikhawatirkan apabila dua orang remaja beda kelamin bobo bareng.


Bersambung ke Bab IV

Bab II : BOBI dan Monda

Kafe-restro pinggir pantai. Beratapkan langit Jakarta yang cerah. Cewek hitam manis menempati meja di bagian pojok kafe yang di lindungi pohon palem berhiaskan lampu-lampu kecil. Ia menikmati alunan lembut musik kafe beserta debur ombak dan sepoi angin menjelang senja.
Waiter menghampiri dengan daftar menu.
“Lime juice,ya , mas!” pinta si Cewek hitam manis.
“Lainnya, mbak?”
“Nanti aja. Lagi nungguin musuh saya nich, di meja ini!”
Waiter berlalu.
“Eh eh, eh Mas!”
Waiter menoleh.”Apa lagi, Mbak!”
“French Fries-nya dunk!” sebel kan nungguin pacar, eh musuh! Mendingan gue ditemenin kentang goreng dulu.
Lima belas menit berlalu. Cewek hitam manis itu sudah menghabiskan setengah porsi kentang goreng. Mulutnya terus asik mengunyah sambil mengumpat 'musuhnya' yang tak kunjung datang.
“Kura juga lo, ya , Bob! Ngaret nggak kira-kira! Gue nungguin elo sampai kisut begini tau!” Cewek manis itu hanya bisa memaki dalam hati, karena seisi mulutnya dipenuhi kentang goreng. Setengah jam berlalu.
Sepuluh menit kemudian.
“BOB, YA AMPYUUNNN.......!!!!!!!!!”
“Kenapa...,Mon?” Lelaki ABG mengenakan jeans babel dan kaos santai seadanya, muncul di hadapan si Cewek Hitam Manis.
“Ada dua hal yang harus elo jawab dan elo pertanggungjawabin ke gue, sekarang juga!”
“Apa sih.., Cayang...!”
“Pertama, elo tuh kalo ngaret bilang-bilang dunk, dan jangan ampe kelewatan kayak gini, ngerti!”
“Okeh. Tapi, perasaan gua nggak ngaret, Mon?”
“Apa lo bilang..., Bob? Kita sepakat ketemuan jam lima lewat, inget? Sekarang udah jam berapa, nih? Ganteng banget sih lo!”
“Iya...Cayang...,gua kan dateng jam lima lewat empat puluh plus lima menitan kita ngobrol! Masih jam lima lewat, kan...? So, gue nggak telat dunk...,cayang...!”
“Liiihhhhhhh...elo...tuh ya...!!!!”
“Okeh. Terus apa lahi?”
“Oh, Honey, kepala elo tuh!”
“O..., kepala gua ya. Tau nih, semalam, gua mimpi dibotakin tentara Jepang satu truk, eh pagi-paginya kepala gua jadi seksi kayak gini, deh!”
“Duh, rembut lo dikemanain sih, Bob? Elo dah bosan dan frustasi ya, punya pacar kayak gue? Ngaku!!”
“Nggak kok, Mon...!”
“Bohong! Bob, kalo dah bosan sama gue, terus cari gebetan baru, nggak usah gini, deh! Gue rela, nggak perlu tuh kepala elo botakin kayak tuyul gituh!” Beberapa kepala di kafe-resto pinggir pantai timur ancol itu menoleh ke arah sepasang ABG yang lagi serius olahraga adu mulut: Bobi dan Monda.
Setelah membulatkan tekad, berkaitan dengan apa yang harus dia lakukan dalam menjawab mimpi aneh yang dialaminya, Bobi merasa perlu memberitahukan ini kepada seorang yang memiliki tempat khusus dihatinya. Ya seorang itu, Monda.
Waiter kembali menghampiri
“Pesan apa, Mas?”
“Engngngg..., Anu, BANDREK aja, Mas!” Dengan yakin Bobi memesan minuman favoritnya.
“wah, Ngak ada Mas!”
“Oh, kalo gitu SEKUTENG aja deh, ada?”
“Maaf, nggak ada juga. Mas yang lain?”
payah, masa kafe nggak ada bandrek sama sekuteng?
“Ya udah, saya pesan BAJIGUR!”
Waiter menggeleng dan tersenyum agak mengejek.
“CENDOL juga nggak apa-apa kok, Mas!”
Monda menginjak kaki Bobi di bawah meja. Dasar udik, di kafe mana ada minuman begituan!
Bobi berusaha sekuat tenaga menangkap isyarat Monda: slelera minuman lo kelewat tradisional, udah kadarluarsa, BOTAK!
“Okeh, kalo minuman fave gua pada nggak ada, gua coba minuman fave engkong gua!” bisik Bobi kepada Moda.
Waiter mulai tak sabar.
“Jack Daniels, ada, Mas?”
“wah, maaf Mas...”
Bobi segera memotong, “Okeh, kalo nggak ada, vodka!”
“wah, maaf Mas...”
Bobi kembali memotong, “Ya udah, red wine ajah!”
“Wah,”
“Hah, nggak ada juga? Okeh, Shiraz, amarone , atau Martinim kek! Punya nggak nih kafe?”
“waduh, Mas...,”
“Masa semua minuman selera engkong gua nggak ada, sih?! Long Island Ice Tea, ada nggak?!” Bobi rada sewot.
“Anu, Mas, disini nggak melayani minuman beralkohol. Minuman yang kami sediakan khusus soft drink, aneka juice, aneka kopi, dan teeh.”
“Okeh, gua minta JUS JAHE aja kalo gitu!”
“....????????”
Untuk menyederhanakan masalah, Monda mengambil alih, “Udah Mas, bawain aja nih tuyul Lime Squash!”
“Makanannya...apa ya...,” gumam Bobi sambil mengelus-elus kepala botaknya.
“Wah, maaf, Mas. Disini nggak menyediakan gado-gado, ketoprak, pecel,karedok, asinan, rujak, kangkung, dan sejenisnya!” Sang Waiter dengan sigap memotong kata-kata Bobi.
“Gua juga kagak norak-norak banget, Mas..., gua cuma mau pesan TAHU GEJROT, ada? Yang Asli Cirebon, ya! Kalo nggak ada PEYEUM BANDUNG aja, atau...MENDOAN juga boleh!”
“Bobi, udik banget sih elo!”
“Bercanda Mon, maksud gua...Tuna melt Sandwich!”
Akhirnya Monda menarik nafas lega, cowoknya kenal juga salah satu makanan yang pakai bahasa bule.
“Maaf,mas, kebetulan menu yang itu habis,laris manis...,hehe!” Waiter jadi serba salah.
“wah, maaf Mas...”
“Gimana sih, nih kafe? Si Mas sentimen ya, sama saya?! Ya udah, saya pesen ROTI CANE ISI UBUR-UBUR, masa nngak ada?!” pinta Bobi dengan sewot.
“Maaf, rotinya sih ada, tapi persediaan ubur-uburnyaabis mas! Gimana, mau rotinya aja?”
“AAARRRRRRRGGGGGHHHHH...!!!! Terserah Mas deh, yang penting asal jangan nasi putih doang sama sop buntut kadal!”
“Nah, Mas kok tahu! Memang cuma itu, menu utama yang masih tersedia: Nasi putih dengan sop Buntut Komodo!”
“AAARRRRRRRGGGGGHHHHH...Sambel Lontong!!!!!!!!!”
“Udah mas, bawain aja apa yang ada!” Sergah Monda.
Bobi menggonggong, waiter berlalu.
“Okeh, sekarang kita bahas lagi soal kepala elo yang botak!” Monda membuka percakapan setelah Bobi menyikat ludes makanannya.
“Adem...,”Bobi mengelus kepala botaknya yang isapu angin pantai, tanpa memerhatikan Monda.
“Bob! Elo dengerin gue ngomong donk!”
“I..., iya, iya, Mon , kenapa...?!” Bobi balik bertanya sambil tetap mengelus kepala botaknya, sambil sesekali matanya nakal melirik segerombolan cewek-cewek ABG, yang duduk di seberang meja mereka.
“BOBI....!!!! DasarBotak!!!!” Monda ngeloyor pergi meninggalkan Bobi yang asyik main mata dengan cewek-cewek ABG.
Senja sudah berlalu.
“Eh, Mon, mau kemana?! Ini makanan siapa yang bayar, duit gua kagak cukup neeh!” waiter menghampiri Bobi, dan menyodorkan tagihaan dengan wajah dingin. Bobi mengawasi sekitarsambil berdoa semoga pemilik kafe-resto ini tidak menyewa preman-preman ancol!.
“Mon...!Tunggu!” Bobi mengejar Monda setelah berhasil meyakinkan pemilik kafe-resto bahwa dompetnya terbawa aloeh Monda. Sebagai jaminan, kartu mahasiswanya yang nyaris tidak pernah ia ketahui dimana kesaktiannya, disita!.
“Diem Bob! Gue lagi pingin sendiri!”
“Iya, iya, Mon! Elo mau sendirian atau berenang ke laut juga nggak apa-apa....!!!. Tapi tolong, dunk , gua pinjam duit elo, lima puluh ribu saja, buat bayar makanan kita. Please...,entar gua ganti deh... kapan-kapan...kalo ingat...!”
Dari kejauhan, empat pasang mata yang disinyalir sebagai preman-preman ancol, terus mengawasi Bobi.
“Huh, udah botak, boke'!” Monda menyodorkan uang lima puluh ribuan.
“Mmmuachchhh, seep, deh! Sekarang elo boleh sendirian lagi, Mon, atau elo ke laut aja, deh, sekalian! Gue mau sama cewek-cewek ABG tadi ya, hehe!”
“BOTAAAAAK....!!!!!!!!”
“I am a skin-head bachelor...!” Bobi meninggalkan Monda yang masih melipat tujuh ratus tujuh puluh tujuh raut mukanya.


“Bob...,” Monda memeluk dari belakang tubuh Bobi yang melelaki.
“Masih suka, sama cowok botak...?” Bobi asyik memandangi tepian pantai yang kini menghitam. Debur ombak dan buaian angin menentramkan hatinya.
“Aaahh...,Bobi! Jangan bercanda terus, gue pingin serius, neeh! Pengen suasana yang romantis...!”
“Elo langsung dari Bali?” Bobi memencet hidung Monda.
“Yup, sengaja gue langsung ketemu elo, Bob! Kangen gue! Gue kangen sama cowok gue, Bobi, yang keren kayak Tora Sudiro. Eh, tapi malah jin Botak yang gue temuin, huh!” jawab Monda dengan suara menedengung karena Bobi belum juga melepaskan tanganya dari hidung Monda.
“Mon, apa yang elo cari dari cowok kayak gua?” Pertanyaan yang baru sempat ditanyakan Bobi, setelah begitu lama mereka saling kenal.
“Ya, banyak sekali! Tapi, ngapain sih lo pake nanya kayak gitu segala?”
“Udah, jawab saja!”
“Errrr...., protection...,”
“Lanjut!” Bagus, elo kira gua HANSIP pribadi lo ya, Mon?
“Pleasure...,”
“Lanjut!” Good, emang udah gua kira sebelumnya kalo gua punya bakat khusus jadi GIGOLO!
“Affection...,”
“Tarik, Pir!”
“Charming...,”
“Tancep terus!”
“Elo melelaki, so handsome for me, meski sekarang elo botak kayak TUYUL ANCOL!”
“STOP!”
“Ihh...,entar, masih banyak lagi!”
“Oh? Oke deh..., Ambil kiri, Pir!”
“HUG & KISS!”
“Masih ada lagi?”
“PENETRASI!”
“HAH?????”
“Satu kali lagi, please...!”
“Cukup, cukup Mon!” Bobi menutup telinganya.
“CiINTAAH...!” Monda menyingkirkan tangan Bobi yang berlagak menutup telinga. Ia membisikan kata itu dengan lembut, dengan desah. Sepenyh rasa.
“STOP! Kiri, Pir! Pfffiuuuuuuhhhhh, akhirnya, selesai juga!”
“Elo, sendiri Bob, kenapa elo jatuh cinta ke gue? Why honey?!”
“Hemmm...?”
“Ahhhhh..., Bobi! Jawab, why-do-you-love-me?!”
“Ye..., siapa juga falling in love ama elo!” Bobi cengegesan.
“Bobi!” Monda mencubit sekuat tenaga perut Bobi.
“Emang bener, kok, gua belum ada rasa kayak begonoh. I just like you. Selebihnya...,” Bobi berlagak serius.
“Oke, Baik. Now answer my urgent question!”
“Pertanyaan apaan, bukannya ujian akhir semester sudah lewat!”
“Kenapa elo suka sama gue?!”
“Yakin, elo pengen tau?”
“Yakin!”
“Bener, elo yakin? Nggak bakal ngambek?”
“Yakin! Gue nggak pernah seyakin ini sebelumnya. Tapi kalau soal ngambek, itu urusan belakangan. Cepetan, Ngomong!”
“Elo, mau gua bohong, atau berkata apa adanya?”
“Jujur, Botak!”
“Gua suka sama elo karena...”
“Apaan?!”
“Buanyak!”
“Iya, sebutin!”
“Karena rambut lu yang di-rebonding, hehe!”
“Nggak lucu!”
“Karena wangi tubuh elo, yang bikin gua nempel kayak perangko!”
“Jangan bercanda, gue serius!”
“Karena bibir lu yang seksi dan merah basyahh...!”
“Terus!”
“Coz your breasts...”
“Terusin!!”
“Karena ciuman elo yang liar.” Bobi mengungkapkannya , dengan pose sok menerawang.
“Terusin!!!”
“Coz pantat elo yang gede!!!!”
“TERUSIN..!!!!!!”
“You are like CHILI...,SO HOT!!!!!”
“Oh gitu ya, Bob? Jadi elo selama ini cuma jadiin gue pemuas libido lo ja?!” Monda mulai terisak. Air mata hangat menggenang di wajahnya.
“Pssst..., masih ada lagi!”
“Jadi, selama ini, elo cuma anggap gue perempuan Lenjeh yang gampang elo tidurin, Bob?!” Monda nangis sesenggukan.
“Psst..., entar dulu, gua belom selesai!”
“Buat gue udah selesai! Lo cuma mau nyakitin gue!”
“Monda....”
“Elo, elo, elo adalah senandung lirih yang dilantunkan abang gue, Bang Iwan False.”
Monda hanya diam. Menahan tangisnya. Menutup wajahnya. Membelakangi Bobi.
“Elo, elo perempuan terindah yang pernah mencintai gua!”
Cewek hitam manis itu masih diam. Ia masih terisak.
“Elo, elo perempuan tercantik, yang pernah gua lumat bibir indahnya.”
“BOONG!!!!”
“Elo, elo perempuan paling istimewa yang pernah memeluk hati gua, Mon!”
Monda diam. Ia mendengarkan semua itu. Ia menikmatinya.
“Elo, elo wanita terbaik yang sayang sama gua..!”
She feels so comfortable.
“Elo, elo seperti senandungkan abang gua yang nomer dua, Bang Duta Sheila On 7 : Elo anugerah terindah yang pernah gua miliki.., Mon!”
“Bob..gue sayang elo-biar pun elo sekarang botak. Jangan kecewain gue, ya...!” Monda membenamkan wajahnya di bahu Bobi. Luruh dalam haru-birunya nuansa.
Ppffffffffffiiiiiiiuuuuuuuffff......., dasar CUEWWEK!!! Bobi masih sempat menggerutu.


Malam terus merayapi bibir pantai.
“Pulang, yuks, Bob! Udah malem banget nich, takut ditangkep jin Ancol!” Monda mengecup kepala botak Bobi.
“entar dolo, Mon, gua masih pengen menikmati semua ini. Malam, hembusan angin, debur ombak, bau laut. Dengerin bunyi yang khas ini, Mon, Bunyi ombak saling berkejaran menghampiri bibir pantai. Bunyi yang Khas. Bunyi yang paling gua suka. Bunyi yang damai. Bunyi yang sanggup menentramkan gua, Mon!” Bobi berkata dengan lirih dan melankolis.
Udah baca puisinya, Bob? Monda nyeluntuk dalam hati.
“Ehmm..., iya, Bob, damai, tentram. Tapi bakal lebih damai lagi kalau kita cepat pulang. Sebelum bokap gue menghubungi 911 dan ngundang tim buser, dikarenakan Monica Juanda, anak gadisnya yang paling cantik, baik hati, dan tidak sombong, diculik oleh seorang pemuda nggak jelas, dengan ciri-ciri kepala botak mirip JIN IFRIT!”
“Hemmhhh..., ya, udah , yuk, kita cabut!”
“Eh, entar dulu, katanya tadi elo pengen ngomongin sesuatu yang penting ke gue? Apaan sih?”
“Nanti aja, deh, gua ceritain, waktunya nggak cukup panjang. Seperti kata lu, udah malem banget, nich. Gue nggak mau jadi headline utama besok di Pos kota gara-gara dituduh ngebawa kabur anak orang!”
“Tapi gue jadi penasaran, Bob!. Apa sih? Apa ini menyangkut hubungan kita? Apa lo...udah....”
“Jangan mikir yang macem-macem dulu.Besok elo ada waktu, nggak? Ke rumah gua, ya? Semuanya bakal gua ceritain ke elo, buat elo, demi elo, Mon! Suerrrr!”
Monda mengganguk. Tersenyum. Keduanya saling berangkulan erat, sebelum meninggalkan kawasan pantai timur Ancol..


Bersambung ke Bab III

Prolog : MELANGKAHLAH KEBARAT DAN JADILAH LELAKI BERPALINGLAH KE SELATAN DAN TEMUKAN ½ JIWAMU- DAN TEMUKAN CINTAMU!

“Ngebaca novel ini jadi kebayang petualangan indiana jones, tapi dengan tokoh utama jim carey! Hasilnya, oeu novel teeh lucu, seru, jeung BELEGUG” dari : Ronald Surapradja (artis, komedia extravaganza )

“Sebuah novel yang gila lucu! Liar , bebas ngakak dan dijamin ngak bakal bosen buat dibolak-balik pake jari.Sedikit nasihat: jangan mau jadi korban Playboy cap Kutil!!!!” dari : Dila Ariestiani ( Penulis buku “Girls Guide:semua tentang cowok”)

Penulis : Endang Rukmana
Penyunting : Windy Ariestanty
Desain cover : Jeffri Fernando
Langsung Saja!

Bab I : Pesan Gaib
Coba elo bayangin seandainya adegan di bawah ini,antara si Bobi dan si Kakek Bijak, diperankan oleh Tora Sudiro dan Aming.
Setting-nya di pulau kapuk ( baca : kasur!):
“Zzzzz......zzzzzz...zzzzzzz....!”
“Bobi.....cucuku...,uheg!uheg!” Seorang kakek berjubah putih yang tampangnya mirip aming di masa tua. Dari tarikan napas dan suara batuknya dapat di pastikan, si kakek menderita bronchitis,asma, muntaber, dan gejala miskin yang sangat akut.
“Ngngngngng....”
“Cucuku....,uhueg! Uhueg!”
“Ngngngngngng...ehmhmhmhm..., apaan sih?! Gaya lu?!”
“Dasar anak jaman sekarang..., makin ngelunjak aja ama yang tua..uhueg! Uhueg!”
“Zzzzz......zzzzzz...zzzzzzz....!”
“CUCU! Kakek mau ngomong nih, dengerin!”
“Zzzzz......zzzzzz...zzzzzzz......zzzzzz...zzzzzzz....!”
BYURRRRRRR!
“Hwaduh...ummmhh, apaan sih, tsunami?!”
“Kutil!!!! Sebenarnya elo ini siapa, sih? Ngak ngeliat, gua lagi pewe di pulau kapuk?
Gagalk deh, pertemuan via mimpi gua sama Dian Sastro!”
“Tenang cucuku..., aku ini kakekmu...., uhueg! Uhueg!
“Kakek dari Hongkong? Kakek gua ntuh da meninggal sejak zaman Jepang ngewajibin Romusha!”
“Iya, cucuku...., Kakek datang dari masa lalu. Pangil saja aku si kakek Bijak dan Gaul.”
“Go to hell!”
“Cucuku, kakek cuma mau nitip pesan.”
“Yah, Si kakek! Klo mau nitip pesan mah gampang...., dateng aja ke kantor pos, atau pake TIKI aja sekalian!”
Dasar cucu keparat! Gerutu si kakek
“Pesan ini buat kamu...cucuku...!”
“Pesan apa, kek, warisan, ya? Kakek nyimpan harta karun hasil perselingkuhan Raffles ama Daendels, ya? Berarti, benar donk teori gua selama ini; orang-orang besar cenderung bermasalah dengan kehidupan seksualnya; klo nggak impoten, pasti HOMO!” Mata Bobi kini nampak berbinar-binar.
“Bukan ntuh..., CUCU SABLENG!”
“So?”
“Kamu terlahir dengan tanda khusus cucuku...!”
“Tanda apaan, maksud kakek?”
“Itu lho, tahi lalat segede brontosaurus yang bersemayam di selangkangan kamuh!”
“Oh, ntuh..., kok kakek bisa tahu, sih?
“Ini bukti bahwa gue emang engkong lu, dodol!”
“Ada apa dengan tompel, eh, Tahi lalat di selangkangan saya ntuh kek?”
“Itu petanda kamu ditakdirkan sebagai ...,”
“Sebagai ahli waris tunggal Donald Trump ya, kek?”
“Bukan ntuh,DONALD...BEBEK!”
“Nah, truzz!”
“Kamu ditakdirkan melakukan perjalanan jauh, cucuku..., seperti seorang musafir...traveler...avounturir!”
“Maksud kakek, gua ada bakat jadi gelandangan, gituh?!”
“Melangkahlah ke barat, ke arah matahari terbenam. Jejakan kakimu di negeri Banten.Lalu berpalinglah ke selatan,kunjungi Tanah Baduy di pegunungan kendeng. Temukan Sasaka Domas, sebab di situ letak kubur ari-arimu!”
“Hah, yakin kek! Ari-ari gua di kubur di Sasaka Domas?!”
“Kakek belum seyakin ini,cucuku.Bacalah buku harian peninggalan ayahmu.Baru kamu akan mengerti Bobi...!”
“Kek, ngapain nyari kuburan ari-ari sendiri? Kagak ada kerjaan lain apa?”
“Udah, ikutin aja pesan kakek! Dasar CUCU BAWEL!”
“Kek, ngomong-ngomong dari masa lalu ke sini naik apaan?”
“Oh..., ntuh. Kakek numpang kereta Express Pakuan Bogor-Kota!”
“...?????”
“Ada satu lagi!”
“Apaan tuh?”
“Di selatan kamu akan menemukan CINTAMU, cucuku!”
“Tapi kek, gua udah punya pacar! Cantik,Seksi, Kaya, Baik banget!”
“Pokoknya, jodohmu adalah seorang puteri dari selatan...!”
“Nah lho, Nyai Roro Kidul, dunk?!”
“Hussssyy, sembarangan kamu! Udah dulu ya cucu, mumpung kakek ada di abad 21, Kakek mau shoping dulu ke carefour, sekalian ada jumpa fans sama Inul Daratista.”
“...??????!!!!”
“O, ya, ada satu persyaratan penting sebelum dan selama melakukan perjalanan ini kamu harus mencukur rambutmu!”
“Model apa, kek? Punk style...!Yeahhhh....!”
“Maksud kakek, cukur habis!”
“BOTAK?!”
“Itu, sebagai simbol kebersihan niatmu, cucuku!”
BLEEPPPPP...BLEEEEPPPPPPPP...BLEESSSSSSSSS....!
jasad si kakek bijak menghilang, meningalkan segumpal asap putih. Namun tiba-tiba seekor harimau putih muncul di hadapan Bobi.
Gerrrrrrrr.....auummmmmmmmm..., auuuummmmm.....!!!!!!
“MACAAAAAN...! TOLOOOOOONG......, ada MAACAAAAAN....!”
Gerrrrrrrr.....auummmmmmmmm..., auuuummmmm.....!!!!!!
“MAAAACCAAAAAANNNNNNNNNN..........!!!!!!!”
“Den..., Den Bobi, kenapa Den? Bangun Aden...! Ada telepon tuh, dari Neng Monda!”
Mang Dadang berusaha membangunkan Bobi.
“Ppfffffuuuuhhhhhh, syukur deh, cuma mimpi!”
“Emangnya mimpi apa, Den?”
“Ketemu MACAN, Mang!”
“Oh, ntuh artinya, Den Bobi bakal melakukan perjalanan panjang dan mengalami banyak hal seru.”
“Masa, sih...?????”
Mimpi aneh itu terus berulang, tiga kali dalam seminggu; si kakek bijak dan seekor harimau putih besar, serta pesan agar Bobi melakukan perjalanan mencari kubur ari-arinya. Bobi jadi uring-uringan di buatnya.Nafsu makannya berkurang. Ia tidak lagi memedulikan menu pagi favoritnya: Segelas Bajigur panas dan sepiring pisang goreng.
“Diary bokap gua...” Bobi termenung
“Mungkin misteri di balik mimpi aneh ini bakal terjawab kalau gua ngebaca diari ntuh!” Bobi bergegas memasuki kamar ayahnya. Sejak Bob Revolta ( Ayahnya Bobi), sebulan lalu di beritakan lenyap di pedalaman Papua, Bobi belum sempat memeriksa barang apa saja yang tertinggal di kamar itu.
Bobi memang berpesan kepada Mang Dadang dan bi Minah agar jangan dulu membereskan kamar ayahnya. Biarkan semuanya seperti apa adanya. Seolah tidak terjadi apa-apa. Sebab Bobi masih yakin, di suatu sore di akhir pekan yang basah oleh rintik-rintik, ayahnya akan kembali. Seperti biasa, Menulis dan membaca di kamar itu, ditemani secangkir teeh dan beberapa potong pisang buatan Bi Minah: lalu tak lupa menyapa Bobi dengan kalimat seperti ini: “Hei Junior, Sudah berapa cewek yang sudah kau taksir ( dan lantas menolakmu dengan manis sambil berbisik “amit-amit....!” disertai gerakan tangan mengusap-usap perut) minggu ini?”
Bobi mengamati kamar ayahnya. Sebuah komputer dan tumpukan kertas menghias meja kerja. Lemari panjang penuh dengan deretan buku. Sebuah mesin ketik tua di pojok kamar. Dan...ketika ia merebahkan tubuhnya di tempat tidur ayahnya, membetulkan letak bantal yang menyangga kepalanya, sebuah diary tua bersampul cokelat tersembul, menampakan diri.
Baduy, Juli 1983
Aku bersama Djoe mengunjungi desa Kanakes, perkampugan orang Baduy di daerah pegunungan Kendeng, banten selatan. Meski datang ke tempat yang sama, kami memiliki maksud yang berbeda. Djoe hendak mengumpulkan data dan fakta lapangan untuk kepentingan buku yang ditulisnya. Buku yang akan mencoba menyingkap kelahiran, kehidupan, dan kebudayaan masyarakat suku baduy yang sengaja mengasingkan diri dari dunia luar. Sementara aku? Ah, aku sekedar jatuh cinta saja pada Baduy. Pada masyarakatnya yang bersahaja. Pada awalnya perawan, Dan..., ya pada PERAWANNYA yang perawan! Haha!
Tak mudah mencapai wilayah ini, meski jaraknya hanya sekitar 120 kilometer arah barat daya Jakarta, dan 60 kilometer ke selatan jika dicapai dari Rangkasbitung, ibu kota kabupaten Lebak. Kondisi jalan menuju Baduy tidak baik, dan transportasi antardesa agak sulit.Perjalanan menikmati alan dan kampung-kampung Baduy dilakukan dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak yang di kanan-kirinya pepohonan lebat, semak-belukar, ilalang yang begitu rapat, atau jurang curam menganga.
Bulan Juni-Juli bertepatan dengan bulan kapat dalam sistem kalender orang Baduy.Bulan kapat adalah awal kegiatan berladang di Baduy. Tanaman utama di Baduy adalah padi, yang dipuja dengan perlambangan dewi Sri, atau Nyi Asri Sanghyang Pohaci. Sebelum kegiatan berladang, terlebih dahulu diadakan upacara seren tahun atau upacara menyambut pergantian musim yang bertujuan meminta hujan. Dalam upacara seren tahun ini akan dipergelarkan kesenian khas Baduy yang bersifat magis dan Sakral, dikenal dengan nama Angklung Buhun.
Karena kesenian angklung Buhun inilah, aku dipertemukan dengan Rani, mahasiswi tingkat akhir Antropologi UI. Rani datang ke Baduy untuk melakukan penelitian yang merupakan bagian dari penyusunan skripsinya. Rani akan meneliti beberapa kesenian suku Baduy, terutama Angklung Buhun.
Bobi menghela napas. Ia akan menyelami masa muda ayahnya.
Baduy, Agustus 1983
Rani menjadi dekat denganku, karena aku banyak membantunya selama studi lapangan di Baduy. Ah, Rani, gadis manis asal kota Cilegon itu benar-benar membuatku lunluh. Aku suka nuansa kewanitaan yang ada pada Rani.Entah apa. Mungkin juga karena semangat hidup dan kemauannya yang kuat. Dia perempuan yang cerdas dan menyenangkan.
Di suatu senja yang redup, diantara batu-batu dan gemercik air anak sungai Ciujung, aku dan Rani sepakat menyatikan hati dengan sebuah ciuman lembut yang berlangsung sampai senja musnah ditelan malam.
Bobi termenung sesaat lamanya, kemudian kembali membuka halaman demi halaman diary tua milik ayahnya.
Baduy, September 1985
Jumpa lagi, Baduy! Apa kabar?
Kali ini aku bersama Rani, Istriku sayang datang mengunjungimu. Kau kenangan kami Baduy, yang mempertautkan hati kami di antara gunung dan berbukitan, diantara berbatuan dan gemercik air sungaimu.
Kami menikah! Dan kini tujuh bulan sudah usia kandungan Raniku!
Baduy, aku ingin , ditanah pegunungan kendeng ini, anakku terlahir!
Bobi mengerutkan kening, mencoba memahami apa yang terjadi di masa lalu.
Baduy, Desember 1985
Lihatlah, Baduy! Aku mejadi bapak!
Anaku lahir! Anak lelaki yang sehat dan tampan. Biarkan anakku menghirup udara kedamaianmu, Baduy; Biarkan ia menjejakan kaki mungilnya di tubuhmu, Baduy; Biarkan ia meminum air sungai Ciujung sepuasnya; biarkan ia digendong, dipangku dan diasuh oleh bukit-bukit dan gunung-gunung di pegunungan kendeng ini; dan izinkan kunamai anak lelakiku ini, Bobi; , Bobi van Kendeng!
Dihelanya napas sepanjang mungkin, kemudian dihempaskanya dengan perlahan-lahan. Kini Bobi mengerti. Mimpi aneh itu terjawab sudah. Dan kini ia tahu, apa yang harus ia lakukan!.


Bersambung Ke Bab II

Label

Pengikut

Total Pengunjung