Novel online

Silakan Baca Cerita-cerita yang saya sajikan di blog saya..silakan menikmatinya...

Alkisah, seorang kepala suku Bani Umar di Jazirah Arab memiIiki segala macam yang diinginkan orang, kecuali satu hal bahwa ia tak punya seorang anakpun. Tabib-tabib di desa itu menganjurkan berbagai macam ramuan dan obat, tetapi tidak berhasil. Ketika semua usaha tampak tak berhasil, istrinya menyarankan agar mereka berdua bersujud di hadapan Tuhan dan dengan tulus memohon kepada Allah swt memberikan anugerah kepada mereka berdua. “Mengapa tidak?” jawab sang kepala suku. “Kita telah mencoba berbagai macam cara. Mari, kita coba sekali lagi, tak ada ruginya.”

Mereka pun bersujud kepada Tuhan, sambil berurai air mata dari relung hati mereka yang terluka. “Wahai Segala Kekasih, jangan biarkan pohon kami tak berbuah. Izinkan kami merasakan manisnya menimang anak dalam pelukan kami. Anugerahkan kepada kami tanggung jawab untuk membesarkan seorang manusia yang baik. Berikan kesempatan kepada kami untuk membuat-Mu bangga akan anak kami.”

Tak lama kemudian, doa mereka dikabulkan, dan Tuhan menganugerahi mereka seorang anak laki-laki yang diberi nama Qais. Sang ayah sangat berbahagia, sebab Qais dicintai oleh semua orang. Ia tampan, bermata besar, dan berambut hitam, yang menjadi pusat perhatian dan kekaguman. Sejak awal, Qais telahmemperlihatkan kecerdasan dan kemampuan fisik istimewa. Ia punya bakat luar biasa dalam mempelajari seni berperang dan memainkan musik, menggubah syair dan melukis.

Ketika sudah cukup umur untuk masuk sekolah, ayahnya memutuskan membangun sebuah sekolah yang indah dengan guru-guru terbaik di Arab yang mengajar di sana , dan hanya beberapa anak saja yang belajar di situ. Anak-anak lelaki dan perempuan dan keluarga terpandang di seluruh jazirah Arab belajar di sekolah baru ini.

Di antara mereka ada seorang anak perempuan dari kepala suku tetangga. Seorang gadis bermata indah, yang memiliki kecantikan luar biasa. Rambut dan matanya sehitam malam; karena alasan inilah mereka menyebutnya Laila-”Sang Malam”. Meski ia baru berusia dua belas tahun, sudah banyak pria melamarnya untuk dinikahi, sebab-sebagaimana lazimnya kebiasaan di zaman itu, gadis-gadis sering dilamar pada usia yang masih sangat muda, yakni sembilan tahun.

Laila dan Qais adalah teman sekelas. Sejak hari pertama masuk sekolah, mereka sudah saling tertarik satu sama lain. Seiring dengan berlalunya waktu, percikan ketertarikan ini makin lama menjadi api cinta yang membara. Bagi mereka berdua, sekolah bukan lagi tempat belajar. Kini, sekolah menjadi tempat mereka saling bertemu. Ketika guru sedang mengajar, mereka saling berpandangan. Ketika tiba waktunya menulis pelajaran, mereka justru saling menulis namanya di atas kertas. Bagi mereka berdua, tak ada teman atau kesenangan lainnya. Dunia kini hanyalah milik Qais dan Laila.

Mereka buta dan tuli pada yang lainnya. Sedikit demi sedikit, orang-orang mulai mengetahui cinta mereka, dan gunjingan-gunjingan pun mulai terdengar. Di zaman itu, tidaklah pantas seorang gadis dikenal sebagai sasaran cinta seseorang dan sudah pasti mereka tidak akan menanggapinya. Ketika orang-tua Laila mendengar bisik-bisik tentang anak gadis mereka, mereka pun melarangnya pergi ke sekolah. Mereka tak sanggup lagi menahan beban malu pada masyarakat sekitar.

Ketika Laila tidak ada di ruang kelas, Qais menjadi sangat gelisah sehingga ia meninggalkan sekolah dan menyelusuri jalan-jalan untuk mencari kekasihnya dengan memanggil-manggil namanya. Ia menggubah syair untuknya dan membacakannya di jalan-jalan. Ia hanya berbicara tentang Laila dan tidak juga menjawab pertanyaan orang-orang kecuali bila mereka bertanya tentang Laila. Orang-orang pun tertawa dan berkata, ” Lihatlah Qais , ia sekarang telah menjadi seorang majnun, gila!”

Akhirnya, Qais dikenal dengan nama ini, yakni “Majnun”. Melihat orang-orang dan mendengarkan mereka berbicara membuat Majnun tidak tahan. Ia hanya ingin melihat dan berjumpa dengan Laila kekasihnya. Ia tahu bahwa Laila telah dipingit oleh orang tuanya di rumah, yang dengan bijaksana menyadari bahwa jika Laila dibiarkan bebas bepergian, ia pasti akan menjumpai Majnun. Majnun menemukan sebuah tempat di puncak bukit dekat desa Laila dan membangun sebuah gubuk untuk dirinya yang menghadap rumah Laila. Sepanjang hari Majnun duduk-duduk di depan gubuknya, disamping sungai kecil berkelok yang mengalir ke bawah menuju desa itu. Ia berbicara kepada air, menghanyutkan dedaunan bunga liar, dan Majnun merasa yakin bahwa sungai itu akan menyampaikan pesan cintanya kepada Laila. Ia menyapa burung-burung dan meminta mereka untuk terbang kepada Laila serta memberitahunya bahwa ia dekat.

Ia menghirup angin dari barat yang melewati desa Laila. Jika kebetulan ada seekor anjing tersesat yang berasal dari desa Laila, ia pun memberinya makan dan merawatnya, mencintainya seolah-olah anjing suci, menghormatinya dan menjaganya sampai tiba saatnya anjing itu pergi jika memang mau demikian. Segala sesuatu yang berasal dari tempat kekasihnya dikasihi dan disayangi sama seperti kekasihnya sendiri.

Bulan demi bulan berlalu dan Majnun tidak menemukan jejak Laila. Kerinduannya kepada Laila demikian besar sehingga ia merasa tidak bisa hidup sehari pun tanpa melihatnya kembali. Terkadang sahabat-sahabatnya di sekolah dulu datang mengunjunginya, tetapi ia berbicara kepada mereka hanya tentang Laila, tentang betapa ia sangat kehilangan dirinya.
Suatu hari, tiga anak laki-laki, sahabatnya yang datang mengunjunginya demikian terharu oleh penderitaan dan kepedihan Majnun sehingga mereka bertekad embantunya untuk berjumpa kembali dengan Laila. Rencana mereka sangat cerdik. Esoknya, mereka dan Majnun mendekati rumah Laila dengan menyamar sebagai wanita. Dengan mudah mereka melewati wanita-wanita pembantu dirumah Laila dan berhasil masuk ke pintu kamarnya.

Majnun masuk ke kamar, sementara yang lain berada di luar berjaga-jaga. Sejak ia berhenti masuk sekolah, Laila tidak melakukan apapun kecuali memikirkan Qais. Yang cukup mengherankan, setiap kali ia mendengar burung-burung berkicau dari jendela atau angin berhembus semilir, ia memejamkan.matanya sembari membayangkan bahwa ia mendengar suara Qais didalamnya. Ia akan mengambil dedaunan dan bunga yang dibawa oleh angin atau sungai dan tahu bahwa semuanya itu berasal dari Qais. Hanya saja, ia tak pernah berbicara kepada siapa pun, bahkan juga kepada sahabat-sahabat terbaiknya, tentang cintanya.

Pada hari ketika Majnun masuk ke kamar Laila, ia merasakan kehadiran dan kedatangannya. Ia mengenakan pakaian sutra yang sangat bagus dan indah. Rambutnya dibiarkan lepas tergerai dan disisir dengan rapi di sekitar bahunya. Matanya diberi celak hitam, sebagaimana kebiasaan wanita Arab, dengan bedak hitam yang disebut surmeh. Bibirnya diberi lipstick merah, dan pipinya yang kemerah-merahan tampak menyala serta menampakkan kegembiraannya. Ia duduk di depan pintu dan menunggu.

Ketika Majnun masuk, Laila tetap duduk. Sekalipun sudah diberitahu bahwa Majnun akan datang, ia tidak percaya bahwa pertemuan itu benar-benar terjadi. Majnun berdiri di pintu selama beberapa menit, memandangi, sepuas-puasnya wajah
Laila. Akhirnya, mereka bersama lagi! Tak terdengar sepatah kata pun, kecuali detak jantung kedua orang yang dimabuk cinta ini. Mereka saling berpandangan dan lupa waktu.

Salah seorang wanita pembantu di rumah itu melihat sahabat-sahabat Majnun di luar kamar tuan putrinya. Ia mulai curiga dan memberi isyarat kepada salah seorang pengawal. Namun, ketika ibu Laila datang menyelidiki, Majnun dan kawan-kawannya sudah jauh pergi. Sesudah orang-tuanya bertanya kepada Laila, maka tidak sulit bagi mereka mengetahui apa yang telah terjadi. Kebisuan dan kebahagiaan yang terpancar dimatanya menceritakan segala sesuatunya.

Sesudah terjadi peristiwa itu, ayah Laila menempatkan para pengawal di setiap pintu di rumahnya. Tidak ada jalan lain bagi Majnun untuk menghampiri rumah Laila, bahkan dari kejauhan sekalipun. Akan tetapi jika ayahnya berpikiran bahwa, dengan
bertindak hati-hati ini ia bisa mengubah perasaan Laila dan Majnun, satu sama lain, sungguh ia salah besar.

Ketika ayah Majnun tahu tentang peristiwa di rumah Laila, ia memutuskan untuk mengakhiri drama itu dengan melamar Laila untuk anaknya. Ia menyiapkan sebuah kafilah penuh dengan hadiah dan mengirimkannya ke desa Laila. Sang tamu pun
disambut dengan sangat baik, dan kedua kepala suku itu berbincang-bincang tentang kebahagiaan anak-anak mereka. Ayah Majnun lebih dulu berkata, “Engkau tahu benar, kawan, bahwa ada dua hal yang sangat penting bagi kebahagiaan, yaitu
“Cinta dan Kekayaan”.

Anak lelakiku mencintai anak perempuanmu, dan aku bisa memastikan bahwa aku sanggup memberi mereka cukup banyak uang untuk mengarungi kehidupan yang bahagia dan menyenangkan. Mendengar hal itu, ayah Laila pun menjawab, “Bukannya aku menolak Qais. Aku percaya kepadamu, sebab engkau pastilah seorang mulia dan terhormat,” jawab ayah Laila. “Akan tetapi, engkau tidak bisa menyalahkanku kalau aku berhati-hati dengan anakmu. Semua orang tahu perilaku abnormalnya. Ia berpakaian seperti seorang pengemis. Ia pasti sudah lama tidak mandi dan iapun hidup bersama hewan-hewan dan menjauhi orang banyak. “Tolong katakan kawan, jika engkau punya anak perempuan dan engkau berada dalam posisiku, akankah engkau memberikan anak perempuanmu kepada anakku?”

Ayah Qais tak dapat membantah. Apa yang bisa dikatakannya? Padahal, dulu anaknya adalah teladan utama bagi awan-kawan sebayanya? Dahulu Qais adalah anak yang paling cerdas dan berbakat di seantero Arab? Tentu saja, tidak ada yang dapat dikatakannya. Bahkan, sang ayahnya sendiri susah untuk mempercayainya. Sudah lama orang tidak mendengar ucapan bermakna dari Majnun. “Aku tidak akan diam berpangku tangan dan melihat anakku menghancurkan dirinya sendiri,”
pikirnya. “Aku harus melakukan sesuatu.”

Ketika ayah Majnun kembali pulang, ia menjemput anaknya, Ia mengadakan pesta makan malam untuk menghormati anaknya. Dalam jamuan pesta makan malam itu, gadis-gadis tercantik di seluruh negeri pun diundang. Mereka pasti bisa
mengalihkan perhatian Majnun dari Laila, pikir ayahnya. Di pesta itu, Majnun diam dan tidak mempedulikan tamu-tamu lainnya. Ia duduk di sebuah sudut ruangan sambil melihat gadis-gadis itu hanya untuk mencari pada diri mereka berbagai
kesamaan dengan yang dimiliki Laila.

Seorang gadis mengenakan pakaian yang sama dengan milik Laila; yang lainnya punya rambut panjang seperti Laila, dan yang lainnya lagi punya senyum mirip Laila. Namun, tak ada seorang gadis pun yang benar-benar mirip dengannya,
Malahan, tak ada seorang pun yang memiliki separuh kecantikan Laila. Pesta itu hanya menambah kepedihan perasaan Majnun saja kepada kekasihnya. Ia pun berang dan marah serta menyalahkan setiap orang di pesta itu lantaran berusaha
mengelabuinya.

Dengan berurai air mata, Majnun menuduh orang-tuanya dan sahabat-sahabatnya sebagai berlaku kasar dan kejam kepadanya. Ia menangis sedemikian hebat hingga akhirnya jatuh ke lantai dalam keadaan pingsan. Sesudah terjadi petaka ini, ayahnya memutuskan agar Qais dikirim untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah dengan harapan bahwa Allah akan merahmatinya dan membebaskannya dari cinta yang menghancurkan ini.

Di Makkah, untuk menyenangkan ayahnya, Majnun bersujud di depan altar Kabah, tetapi apa yang ia mohonkan? “Wahai Yang Maha Pengasih, Raja Diraja Para Pecinta, Engkau yang menganugerahkan cinta, aku hanya mohon kepada-Mu satu hal
saja,”Tinggikanlah cintaku sedemikian rupa sehingga, sekalipun aku binasa, cintaku dan kekasihku tetap hidup.” Ayahnya kemudian tahu bahwa tak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk anaknya.

Usai menunaikan ibadah haji, Majnun yang tidak mau lagi bergaul dengan orang banyak di desanya, pergi ke pegunungan tanpa memberitahu di mana ia berada. Ia tidak kembali ke gubuknya. Alih-alih tinggal dirumah, ia memilih tinggal
direruntuhan sebuah bangunan tua yang terasing dari masyarakat dan tinggal didalamnya. Sesudah itu, tak ada seorang pun yang mendengar kabar tentang Majnun. Orang-tuanya mengirim segenap sahabat dan keluarganya untuk mencarinya.
Namun, tak seorang pun berhasil menemukannya. Banyak orang berkesimpulan bahwa Majnun dibunuh oleh binatang-binatang gurun sahara. Ia bagai hilang ditelan bumi.

Suatu hari, seorang musafir melewati reruntuhan bangunan itu dan melihat ada sesosok aneh yang duduk di salah sebuah tembok yang hancur. Seorang liar dengan rambut panjang hingga ke bahu, jenggotnya panjang dan acak-acakan, bajunya
compang-camping dan kumal. Ketika sang musafir mengucapkan salam dan tidak beroleh jawaban, ia mendekatinya. Ia melihat ada seekor serigala tidur di kakinya. “Hus” katanya, ‘Jangan bangunkan sahabatku.” Kemudian, ia mengedarkan
pandangan ke arah kejauhan.

Sang musafir pun duduk di situ dengan tenang. Ia menunggu dan ingin tahu apa yang akan terjadi. Akhimya, orang liar itu berbicara. Segera saja ia pun tahu bahwa ini adalah Majnun yang terkenal itu, yang berbagai macam perilaku anehnya
dibicarakan orang di seluruh jazirah Arab. Tampaknya, Majnun tidak kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan dengan binatang-binatang buas dan liar. Dalam kenyataannya, ia sudah menyesuaikan diri dengan sangat baik sehingga lumrah-lumrah saja melihat dirinya sebagai bagian dari kehidupan liar dan buas itu.

Berbagai macam binatang tertarik kepadanya, karena secara naluri mengetahui bahwa Majnun tidak akan mencelakakan mereka. Bahkan, binatang-binatang buas seperti serigala sekalipun percaya pada kebaikan dan kasih sayang Majnun. Sang
musafir itu mendengarkan Majnun melantunkan berbagai kidung pujiannya pada Laila. Mereka berbagi sepotong roti yang diberikan olehnya. Kemudian, sang musafir itu pergi dan melanjutkan petjalanannya.

Ketika tiba di desa Majnun, ia menuturkan kisahnya pada orang-orang. Akhimya, sang kepala suku, ayah Majnun, mendengar berita itu. Ia mengundang sang musafir ke rumahnya dan meminta keteransran rinci darinya. Merasa sangat gembira dan
bahagia bahwa Majnun masih hidup, ayahnya pergi ke gurun sahara untuk menjemputnya.

Ketika melihat reruntuhan bangunan yang dilukiskan oleh sang musafir itu, ayah Majnun dicekam oleh emosi dan kesedihan yang luar biasa. Betapa tidak! Anaknya terjerembab dalam keadaan mengenaskan seperti ini. “Ya Tuhanku, aku mohon agar
Engkau menyelamatkan anakku dan mengembalikannya ke keluarga kami,” jerit sang ayah menyayat hati. Majnun mendengar doa ayahnya dan segera keluar dari tempat persembunyiannya. Dengan bersimpuh dibawah kaki ayahnya, ia pun menangis, “Wahai ayah, ampunilah aku atas segala kepedihan yang kutimbulkan pada dirimu. Tolong lupakan bahwa engkau pernah mempunyai seorang anak, sebab ini akan meringankan beban kesedihan ayah. Ini sudah nasibku mencinta, dan hidup hanya untuk mencinta.” Ayah dan anak pun saling berpelukan dan menangis. Inilah pertemuan terakhir mereka.

Keluarga Laila menyalahkan ayah Laila lantaran salah dan gagal menangani situasi putrinya. Mereka yakin bahwa peristiwa itu telah mempermalukan seluruh keluarga. Karenanya, orangtua Laila memingitnya dalam kamamya. Beberapa sahabat Laila diizinkan untuk mengunjunginya, tetapi ia tidak ingin ditemani. Ia berpaling kedalam hatinya, memelihara api cinta yang membakar dalam kalbunya.

Untuk mengungkapkan segenap perasaannya yang terdalam, ia menulis dan menggubah syair kepada kekasihnya pada potongan-potongan kertas kecil. Kemudian, ketika ia diperbolehkan menyendiri di taman, ia pun menerbangkan potongan-potongan kertas kecil ini dalam hembusan angin. Orang-orang yang menemukan syair-syair dalam
potongan-potongan kertas kecil itu membawanya kepada Majnun. Dengan cara demikian, dua kekasih itu masih bisa menjalin hubungan.

Karena Majnun sangat terkenal di seluruh negeri, banyak orang datang mengunjunginya. Namun, mereka hanya berkunjung sebentar saja, karena mereka tahu bahwa Majnun tidak kuat lama dikunjungi banyak orang. Mereka mendengarkannya
melantunkan syair-syair indah dan memainkan serulingnya dengan sangat memukau. Sebagian orang merasa iba kepadanya; sebagian lagi hanya sekadar ingin tahu tentang kisahnya. Akan tetapi, setiap orang mampu merasakan kedalaman cinta dan
kasih sayangnya kepada semua makhluk. Salah seorang dari pengunjung itu adalah seorang ksatria gagah berani bernama ‘Amar, yang berjumpa dengan Majnun dalam perjalanannya menuju Mekah. Meskipun ia sudah mendengar kisah cinta yang sangat terkenal itu di kotanya, ia ingin sekali mendengarnya dari mulut Majnun sendiri.

Drama kisah tragis itu membuatnya sedemikian pilu dan sedih sehingga ia bersumpah dan bertekad melakukan apa saja yang mungkin untuk mempersatukan dua kekasih itu, meskipun ini berarti menghancurkan orang-orang yang menghalanginya!
Kaetika Amr kembali ke kota kelahirannya, Ia pun menghimpun pasukannya. Pasukan ini berangkat menuju desa Laila dan menggempur suku di sana tanpa ampun. Banyak orang yang terbunuh atau terluka.

Ketika pasukan ‘Amr hampir memenangkan pertempuran, ayah Laila mengirimkan pesan kepada ‘Amr, “Jika engkau atau salah seorang dari prajuritmu menginginkan putriku, aku akan menyerahkannya tanpa melawan. Bahkan, jika engkau ingin
membunuhnya, aku tidak keberatan. Namun, ada satu hal yang tidak akan pernah bisa kuterima, jangan minta aku untuk memberikan putriku pada orang gila itu”.

Majnun mendengar pertempuran itu hingga ia bergegas kesana. Di medan pertempuran, Majnun pergi ke sana kemari dengan bebas di antara para prajurit dan menghampiri orang-orang yang terluka dari suku Laila. Ia merawat mereka dengan penuh perhatian dan melakukan apa saja untuk meringankan luka mereka.

Amr pun merasa heran kepada Majnun, ketika ia meminta penjelasan ihwal mengapa ia membantu pasukan musuh, Majnun menjawab, “Orang-orang ini berasal dari desa kekasihku. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi musuh mereka?” Karena sedemikian bersimpati kepada Majnun, ‘Amr sama sekali tidak bisa memahami hal ini. Apa yang dikatakan ayah Laila tentang orang gila ini akhirnya membuatnya sadar. Ia pun memerintahkan pasukannya untuk mundur dan segera meninggalkan desa itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada Majnun.

Laila semakin merana dalam penjara kamarnya sendiri. Satu-satunya yang bisa ia nikmati adalah berjalan-jalan di taman bunganya. Suatu hari, dalam perjalanannya menuju taman, Ibn Salam, seorang bangsawan kaya dan berkuasa, melihat Laila dan serta-merta jatuh cinta kepadanya. Tanpa menunda-nunda lagi, ia segera mencari ayah Laila. Merasa lelah dan sedih hati karena pertempuran yang baru saja menimbulkan banyak orang terluka di pihaknya, ayah Laila pun menyetujui perkawinan itu. Tentu saja, Laila menolak keras. Ia mengatakan kepada ayahnya, “Aku lebih senang mati ketimbang kawin dengan orang itu.” Akan tetapi, tangisan dan permohonannya tidak digubris. Lantas ia mendatangi ibunya, tetapi sama saja keadaannya. Perkawinan pun berlangsung dalam waktu singkat. Orangtua Laila merasa lega bahwa seluruh cobaan berat akhirnya berakhir juga.

Akan tetapi, Laila menegaskan kepada suaminya bahwa ia tidak pernah bisa mencintainya. “Aku tidak akan pernah menjadi seorang istri,” katanya. “Karena itu, jangan membuang-buang waktumu. Carilah seorang istri yang lain. Aku yakin, masih ada banyak wanita yang bisa membuatmu bahagia.” Sekalipun mendengar kata-kata dingin ini, Ibn Salam percaya bahwa, sesudah hidup bersamanya beberapa waktu larnanya, pada akhirnya Laila pasti akan menerimanya. Ia tidak mau memaksa
Laila, melainkan menunggunya untuk datang kepadanya.

Ketika kabar tentang perkawinan Laila terdengar oleh Majnun, ia menangis dan meratap selama berhari-hari. Ia melantunkan lagu-Iagu yang demikian menyayat hati dan mengharu biru kalbu sehingga semua orang yang mendengarnya pun ikut
menangis. Derita dan kepedihannya begitu berat sehingga binatang-binatang yang berkumpul di sekelilinginya pun turut bersedih dan menangis. Namun, kesedihannya ini tak berlangsung lama, sebab tiba-tiba Majnun merasakan kedamaian dan
ketenangan batin yang aneh. Seolah-olah tak terjadi apa-apa, ia pun terus tinggal di reruntuhan itu. Perasaannya kepada Laila tidak berubah dan malah menjadi semakin lebih dalam lagi.

Dengan penuh ketulusan, Majnun menyampaikan ucapan selamat kepada Laila atas perkawinannya: “Semoga kalian berdua selalu berbahagia di dunia ini. Aku hanya meminta satu hal sebagai tanda cintamu, janganlah engkau lupakan namaku,
sekalipun engkau telah memilih orang lain sebagai pendampingmu. Janganlah pernah lupa bahwa ada seseorang yang, meskipun tubuhnya hancur berkeping-keping, hanya akan memanggil-manggil namamu, Laila”.

Sebagai jawabannya, Laila mengirimkan sebuah anting-anting sebagai tanda pengabdian tradisional. Dalam surat yang disertakannya, ia mengatakan, “Dalam hidupku, aku tidak bisa melupakanmu barang sesaat pun. Kupendam cintaku demikian
lama, tanpa mampu menceritakannya kepada siapapun. Engkau memaklumkan cintamu ke seluruh dunia, sementara aku membakarnya di dalam hatiku, dan engkau membakar segala sesuatu yang ada di sekelilingmu” . “Kini, aku harus
menghabiskan hidupku dengan seseorang, padahal segenap jiwaku menjadi milik orang lain. Katakan kepadaku, kasih, mana di antara kita yang lebih dimabuk cinta, engkau ataukah aku?.

Tahun demi tahun berlalu, dan orang-tua Majnun pun meninggal dunia. Ia tetap tinggal di reruntuhan bangunan itu dan merasa lebih kesepian ketimbang sebelumnya. Di siang hari, ia mengarungi gurun sahara bersama sahabat-sahabat
binatangnya. Di malam hari, ia memainkan serulingnya dan melantunkan syair-syairnya kepada berbagai binatang buas yang kini menjadi satu-satunya pendengarnya. Ia menulis syair-syair untuk Laila dengan ranting di atas tanah.

Selang beberapa lama, karena terbiasa dengan cara hidup aneh ini, ia mencapai kedamaian dan ketenangan sedemikian rupa sehingga tak ada sesuatu pun yang sanggup mengusik dan mengganggunya. Sebaliknya, Laila tetap setia pada cintanya. Ibn Salam tidak pernah berhasil mendekatinya. Kendatipun ia hidup bersama Laila, ia tetap jauh darinya. Berlian dan hadiah-hadiah mahal tak mampu membuat Laila berbakti kepadanya. Ibn Salam sudah tidak sanggup lagi merebut kepercayaan dari istrinya. Hidupnya serasa pahit dan sia-sia. Ia tidak menemukan ketenangan dan kedamaian di rumahnya.
Laila dan Ibn Salam adalah dua orang asing dan mereka tak pernah merasakan hubungan suami istri. Malahan, ia tidak bisa berbagi kabar tentang dunia luar dengan Laila.

Tak sepatah kata pun pernah terdengar dari bibir Laila, kecuali bila ia ditanya. Pertanyaan ini pun dijawabnya dengan sekadarnya saja dan sangat singkat. Ketika akhirnya Ibn Salam jatuh sakit, ia tidak kuasa bertahan, sebab hidupnya tidak menjanjikan harapan lagi. Akibatnya, pada suatu pagi di musim panas, ia pun meninggal dunia. Kematian suaminya tampaknya makin mengaduk-ngaduk perasaan Laila. Orang-orang mengira bahwa ia berkabung atas kematian Ibn Salam,
padahal sesungguhnya ia menangisi kekasihnya, Majnun yang hilang dan sudah lama dirindukannya.
Selama bertahun-tahun, ia menampakkan wajah tenang, acuh tak acuh, dan hanya

sekali saja ia menangis. Kini, ia menangis keras dan lama atas perpisahannya dengan kekasih satu-satunya. Ketika masa berkabung usai, Laila kembali ke rumah ayahnya. Meskipun masih berusia muda, Laila tampak tua, dewasa, dan bijaksana,
yang jarang dijumpai pada diri wanita seusianya. Semen tara api cintanya makin membara, kesehatan Laila justru memudar karena ia tidak lagi memperhatikan dirinya sendiri. Ia tidak mau makan dan juga tidak tidur dengan baik selama
bermalam-malam.

Bagaimana ia bisa memperhatikan kesehatan dirinya kalau yang dipikirkannya hanyalah Majnun semata? Laila sendiri tahu betul bahwa ia tidak akan sanggup bertahan lama. Akhirnya, penyakit batuk parah yang mengganggunya selama beberapa
bulan pun menggerogoti kesehatannya. Ketika Laila meregang nyawa dan sekarat, ia masih memikirkan Majnun. Ah, kalau saja ia bisa berjumpa dengannya sekali lagi untuk terakhir kalinya! Ia hanya membuka matanya untuk memandangi pintu
kalau-kalau kekasihnya datang. Namun, ia sadar bahwa waktunya sudah habis dan ia akan pergi tanpa berhasil mengucapkan salam perpisahan kepada Majnun. Pada suatu malam di musim dingin, dengan matanya tetap menatap pintu, ia pun meninggal dunia dengan tenang sambil bergumam, Majnun…Majnun. .Majnun.

Kabar tentang kematian Laila menyebar ke segala penjuru negeri dan, tak lama kemudian, berita kematian Lailapun terdengar oleh Majnun. Mendengar kabar itu, ia pun jatuh pingsan di tengah-tengah gurun sahara dan tetap tak sadarkan diri
selama beberapa hari. Ketika kembali sadar dan siuman, ia segera pergi menuju desa Laila. Nyaris tidak sanggup berjalan lagi, ia menyeret tubuhnya di atas tanah. Majnun bergerak terus tanpa henti hingga tiba di kuburan Laila di luar
kota . Ia berkabung dikuburannya selama beberapa hari.

Ketika tidak ditemukan cara lain untuk meringankan beban penderitaannya, per1ahan-lahan ia meletakkan kepalanya di kuburan Laila kekasihnya dan meninggal dunia dengan tenang. Jasad Majnun tetap berada di atas kuburan Laila selama
setahun. Belum sampai setahun peringatan kematiannya ketika segenap sahabat dan kerabat menziarahi kuburannya, mereka menemukan sesosok jasad terbujur di atas kuburan Laila. Beberapa teman sekolahnya mengenali dan mengetahui bahwa itu adalah jasad Majnun yang masih segar seolah baru mati kemarin. Ia pun dikubur di samping Laila. Tubuh dua kekasih itu, yang kini bersatu dalam keabadian, kini bersatu kembali.

Konon, tak lama sesudah itu, ada seorang Sufi bermimpi melihat Majnun hadir di hadapan Tuhan. Allah swt membelai Majnun dengan penuh kasih sayang dan mendudukkannya disisi-Nya. Lalu, Tuhan pun berkata kepada Majnun, “Tidakkah engkau malu memanggil-manggil- Ku dengan nama Laila, sesudah engkau meminum anggur Cinta-Ku?”

Sang Sufi pun bangun dalam keadaan gelisah. Jika Majnun diperlakukan dengan sangat baik dan penuh kasih oleh Allah Subhana wa ta’alaa, ia pun bertanya-tanya, lantas apa yang terjadi pada Laila yang malang ? Begitu pikiran ini terlintas dalam benaknya, Allah swt pun mengilhamkan jawaban kepadanya, “Kedudukan Laila jauh lebih tinggi, sebab ia menyembunyikan segenap rahasia Cinta dalam dirinya sendiri.”

Diambil dari Negeri Sufi ( Tales from The Land of Sufis )

Tentang Penulis Laila Majnun, Syaikh Sufi Mawlana Hakim Nizhami qs :
Syaikh Hakim Nizhami qs merupakan penulis sufi terkemuka diabad pertengahan karena dua roman cinta yang menyayat hati, yaitu Laila & Majnun serta Khusrau & Syirin. Kisah sedih Laila & Majnun , dimana Majnun yang berarti “Tergila-gila akan Cinta”, karena cintanya yang tak sampai pada Laila, akhirnya membuatnya gila. Kisah cinta ini dibaca selama berabad-abad, ratusan tahun jauh sebelum Romeo & Julietnya Wiliam Shakespeare sehingga Kisah Laila & Majnun terkenal sebagai kisah cintanya Persia .

Pantas untuk jadi pelajaran hidup ni....

Kisah ini mungkin saja terjadi dalam hidup anda..
Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari
demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung
mereka menghadap ke langit.
Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.
Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di
sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari
laci ayahku.
Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok,
dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.
“Siapa yang mencuri uang itu?” Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu
takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi
Beliau mengatakan, “Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!”
Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.

Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, “Ayah, aku yang melakukannya! “
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah
begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau
kehabisan nafas.
Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi,
“Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi
yang akan kamu lakukan di masa
mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!”
Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya
penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di
pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai
menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya
dan berkata, “Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah
terjadi.” Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup
keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat,tapi insiden
tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan
lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8
tahun. Aku berusia 11.
Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk
masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima
untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok
di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi
bungkus. Saya mendengarnya memberengut, “Kedua anak kita memberikan
hasil yang begitu baik…hasil yang begitu baik…” Ibu mengusap air
matanya yang mengalir dan menghela nafas, “Apa gunanya?
Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?”
Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata,
“Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi,telah cukup membaca
banyak buku.” Ayah mengayunkan tangannya dan
memukul adikku pada wajahnya. “Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu
keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan
saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!” Dan begitu
kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam
uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku
yang membengkak, dan berkata, “Seorang anak laki-laki harus meneruskan
sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang
kemiskinan ini.” Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi
meneruskan ke universitas.
Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku
meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit
kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan
meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: “Kak, masuk ke
universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang.”
Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang.
Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.
Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku
hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi,
aku akhirnya sampai ke tahun ketiga
(di universitas) . Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika
teman sekamarku masuk dan memberitahukan, “Ada seorang penduduk dusun
menunggumu di luar sana!”
Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar,
dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu
semen dan pasir. Aku menanyakannya, “Mengapa kamu tidak bilang pada
teman sekamarku kamu adalah adikku?” Dia menjawab, tersenyum, “Lihat
bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu
saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu? ” Aku merasa
terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari
adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, “Aku tidak
perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah
adikku bagaimana pun penampilanmu. ..”
Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu.
Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, “Saya melihat semua gadis kota memakainya.
Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu.”
Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis.
Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana.
Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku.
“Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk
membersihkan rumah kita!” Tetapi katanya, sambil tersenyum, “Itu adalah
adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu
melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela
baru itu..”
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku.
Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya.
“Apakah itu sakit?” Aku menanyakannya.
“Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi
konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu
tidak menghentikanku bekerja dan…”
Ditengah kalimat itu ia berhenti.
Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku.
Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku
mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi
mereka tidak pernah mau.
Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu
harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, “Kak,
jagalah mertuamu saja.
Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini.”
Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku
mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan.
Tetapi adikku menolak tawaran tersebut.
Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.
Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah
kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit.
Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya,
saya menggerutu, “Mengapa kamu menolak menjadi manajer?
Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius.
Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?”
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya.
“Pikirkan kakak ipar–ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak
berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti
itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?”
Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang
sepatah-sepatah: “Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!”
“Mengapa membicarakan masa lalu?” Adikku menggenggam tanganku. Tahun
itu, ia berusia 26 dan aku 29.
Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani
dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu
bertanya kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?” Tanpa
bahkan berpikir ia menjawab, “Kakakku.”
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan
tidak dapat kuingat. “Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada
dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua
jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah.
Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku.
Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu.
Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang
begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu,
saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan
baik kepadanya.”
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku.
Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, “Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku.”
Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan
perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.
Semoga Bermanfaat

Dua puluh tahun yang lalu saya melahirkan seorang anak laki-laki, wajahnya lumayan tampan namun terlihat agak bodoh. Sam, suamiku, memberinya nama Eric. Semakin lama semakin nampak jelas bahwa anak ini memang agak terbelakang. Saya berniat memberikannya kepada orang lain saja untuk dijadikan budak atau pelayan. Namun Sam mencegah niat buruk itu. Akhirnya terpaksa saya membesarkannya juga. Di tahun kedua setelah Eric dilahirkan saya pun
melahirkan kembali seorang anak perempuan yang cantik mungil. Saya menamainya Angelica.
Saya sangat menyayangi Angelica, demikian juga Sam. Seringkali kami mengajaknya pergi ke taman hiburan dan membelikannya pakaian anak-anak yang indah-indah. Namun tidak demikian halnya dengan Eric. Ia hanya memiliki beberapa stel pakaian butut. Sam berniat membelikannya, namun saya selalu melarangnya dengan dalih penghematan uang keluarga. Sam selalu
menuruti perkataan saya. Saat usia Angelica 2 tahun Sam meninggal dunia. Eric sudah berumur
4 tahun kala itu. Keluarga kami menjadi semakin miskin dengan hutang yang semakin menumpuk. Akhirnya saya mengambil tindakan yang akan membuat saya menyesal seumur hidup. Saya pergi meninggalkan kampong kelahiran saya beserta Angelica. Eric yang sedang tertidur lelap saya tinggalkan begitu saja. Kemudian saya tinggal di sebuah gubuk setelah
rumah kami laku terjual untuk membayar hutang. Setahun, 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun.. telah berlalu sejak kejadian itu. Saya telah menikah kembali dengan Brad, seorang pria dewasa. Usia
Pernikahan kami telah menginjak tahun kelima. Berkat Brad, sifat-sifat buruk saya yang semula pemarah, egois, dan tinggi hati, berubah sedikit demi sedikit menjadi lebih sabar dan penyayang. Angelica telah berumur 12 tahun dan kami menyekolahkan dia di asrama putri sekolah perawatan. Tidak ada lagi yang ingat tentang Eric dan tidak ada lagi yang mengingatnya.
Sampai suatu malam. Malam di mana saya bermimpi tentang seorang anak. Wajahnya agak tampan namun tampak pucat sekali. Ia melihat ke arah saya.

Sambil tersenyum ia berkata,
"Tante, Tante kenal mama saya? Saya lindu cekali pada Mommy!"

Setelah berkata demikian ia mulai beranjak pergi, namun saya menahannya,
"Tunggu..., sepertinya saya mengenalmu. Siapa namamu anak manis?"
"Nama saya Elic, Tante."
"Eric? Eric... Ya Tuhan! Kau benar-benar Eric?"

Saya langsung tersentak dan bangun. Rasa bersalah, sesal dan berbagai perasaan aneh lainnya menerpa diri saya saat itu juga. Tiba-tiba terlintas kembali kisah ironis yang terjadi dulu seperti sebuah film yang diputar dikepala saya. Baru sekarang saya menyadari betapa jahatnya perbuatan saya dulu.Rasanya seperti mau mati saja saat itu. Ya, saya harus mati..., mati..., mati... Ketika tinggal seinchi jarak pisau yang akan saya goreskan ke pergelangan tangan, tiba-tiba bayangan Eric melintas kembali di pikiran saya.
Ya Eric, Mommy akan menjemputmu Eric...
Sore itu saya memarkir mobil biru saya di samping sebuah gubuk, dan
Brad dengan pandangan heran menatap saya dari samping. "Mary, apa yang sebenarnya terjadi?"
"Oh, Brad, kau pasti akan membenciku setelah saya menceritakan hal yang telah saya lakukan dulu." Tapi aku menceritakannya juga dengan terisak-isak...
Ternyata Tuhan sungguh baik kepada saya. Ia telah memberikan suami yang begitu baik dan penuh pengertian. Setelah tangis saya reda, saya keluar dari mobil diikuti oleh Brad dari belakang. Mata saya menatap lekat pada gubuk yang terbentang dua meter dari hadapan saya. Saya mulai teringat betapa gubuk itu pernah saya tinggali beberapa bulan lamanya dan Eric..
Eric...
Saya meninggalkan Eric di sana 10 tahun yang lalu. Dengan perasaan sedih saya berlari menghampiri gubuk tersebut dan membuka pintu yang terbuat dari bambu itu. Gelap sekali... Tidak terlihat sesuatu apa pun! Perlahan mata saya mulai terbiasa dengan kegelapan dalam ruangan kecil itu.
Namun saya tidak menemukan siapapun juga di dalamnya. Hanya ada sepotong kain butut tergeletak di lantai tanah. Saya mengambil seraya mengamatinya dengan seksama... Mata mulai berkaca-kaca, saya mengenali potongan kain tersebut sebagai bekas baju butut yang dulu dikenakan Eric sehari-harinya...
Beberapa saat kemudian, dengan perasaan yang sulit dilukiskan, saya pun keluar dari ruangan itu... Air mata saya mengalir dengan deras. Saat itu saya hanya diam saja. Sesaat kemudian saya dan Brad mulai menaiki mobil untuk meninggalkan tempat tersebut. Namun, saya melihat
seseorang di belakang mobil kami. Saya sempat kaget sebab suasana saat itu gelap sekali. Kemudian terlihatlah wajah orang itu yang demikian kotor. Ternyata ia seorang wanita tua. Kembali saya tersentak kaget manakala ia tiba-tiba menegur saya dengan suaranya yang parau.
"Heii...! Siapa kamu?! Mau apa kau kemari?!"
Dengan memberanikan diri, saya pun bertanya,
"Ibu, apa ibu kenal dengan seorang anak bernama Eric yang dulu tinggal di sini?"
Ia menjawab, "Kalau kamu ibunya, kamu sungguh perempuan terkutuk! Tahukah kamu, 10 tahun yang lalu sejak kamu meninggalkannya di sini, Eric terus menunggu ibunya dan memanggil, 'Mommy..., mommy!' Karena tidak tega, saya terkadang memberinya makan dan mengajaknya tinggal Bersama saya. Walaupun saya orang miskin dan hanya bekerja sebagai pemulung sampah, namun saya tidak akan meninggalkan anak saya seperti itu! Tiga bulan yang lalu Eric meninggalkan secarik kertas ini. Ia belajar menulis setiap hari selama bertahun-tahun hanya untuk menulis ini untukmu..."
Saya pun membaca tulisan di kertas itu...
"Mommy, mengapa Mommy tidak pernah kembali lagi...? Mommy marah sama Eric, ya? Mom, biarlah Eric yang pergi saja, tapi Mommy harus berjanji kalau Mommy tidak akan marah lagi sama Eric. Bye, Mom..."
Saya menjerit histeris membaca surat itu.
"Bu, tolong katakan... katakan di mana ia sekarang? Saya berjanji akan meyayanginya sekarang!
Saya tidak akan meninggalkannya lagi, Bu! Tolong katakan..!!"
Brad memeluk tubuh saya yang bergetar keras.
"Nyonya, semua sudah terlambat. Sehari sebelum nyonya datang, Eric telah meninggal dunia..Ia meninggal di belakang gubuk ini. Tubuhnya sangat kurus, ia sangat lemah. Hanya demi menunggumu ia rela bertahan di belakang gubuk ini tanpa ia berani masuk ke dalamnya. Ia takut
apabila Mommy-nya datang, Mommy-nya akan pergi lagi bila melihatnya ada di dalam sana ... Ia hanya berharap dapat melihat Mommy-nya dari belakang gubuk ini... Meskipun hujan deras, dengan kondisinya yang lemah ia terus bersikeras menunggu Nyonya di sana .
Saya kemudian pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi.

Sepasang suami isteri - seperti pasangan lain di kota-kota besar meninggalkan anak-anak diasuh pembantu rumah sewaktu bekerja. Anak tunggal pasangan ini, perempuan cantik berusia tiga setengah tahun. Sendirian ia di rumah dan kerap kali dibiarkan pembantunya karena sibuk bekerja di dapur.

Bermainlah dia bersama ayun-ayunan di atas buaian yang dibeli ayahnya, ataupun memetik bunga dan lain-lain di halaman rumahnya.

Suatu hari dia melihat sebatang paku karat. Dan ia pun mencoret lantai tempat mobil ayahnya diparkirkan, tetapi karena lantainya terbuat dari marmer maka coretan tidak kelihatan. Dicobanya lagi pada mobil baru ayahnya. Ya... karena mobil itu bewarna gelap, maka coretannya tampak jelas. Apalagi anak-anak ini pun membuat coretan sesuai dengan kreativitasnya.

Hari itu ayah dan ibunya bermotor ke tempat kerja karena ingin menghindari macet. Setelah sebelah kanan mobil sudah penuh coretan maka ia beralih ke sebelah kiri mobil. Dibuatnya gambar ibu dan ayahnya, gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan lain sebagainya mengikut imaginasinya. Kejadian itu berlangsung tanpa disadari oleh si pembantu rumah.

Saat pulang petang, terkejutlah pasangan suami istri itu melihat mobil yang baru setahun dibeli dengan bayaran angsuran yang masih lama lunasnya. Si bapak yang belum lagi masuk ke rumah ini pun terus menjerit, "Kerjaan siapa ini !!!" ....

Pembantu rumah yang tersentak dengan jeritan itu berlari keluar. Dia juga beristighfar. Mukanya merah padam ketakutan lebih2 melihat wajah bengis tuannya. Sekali lagi diajukan pertanyaan keras kepadanya, dia terus mengatakan ' Saya tidak tahu..tuan." "Kamu dirumah sepanjang hari, apa saja yg kau lakukan?" hardik si isteri lagi.

Si anak yang mendengar suara ayahnya, tiba-tiba berlari keluar dari kamarnya. Dengan penuh manja dia berkata "DIta yg membuat gambar itu ayahhh.. cantik ...kan!" katanya sambil memeluk ayahnya sambil bermanja seperti biasa. Si ayah yang sudah hilang kesabaran mengambil sebatang ranting kecil dari pohon di depan rumahnya, terus dipukulkannya berkali2 ke telapak tangan anaknya. Si anak yang tak mengerti apa apa menagis kesakitan, pedih sekaligus ketakutan. Puas memukul telapak tangan, si ayah memukul pula belakang tangan anaknya.
Sedangkan Si ibu cuma mendiamkan saja, seolah merestui dan merasa puas dengan hukuman yang dikenakan.

Pembantu rumah terbengong, tdk tahu hrs berbuat apa... Si ayah cukup lama memukul-mukul tangan kanan dan kemudian ganti tangan kiri anaknya. Setelah si ayah masuk ke rumah diikuti si ibu, pembantu rumah tersebut menggendong anak kecil itu, membawanya ke kamar.

Dia terperanjat melihat telapak tangan dan belakang tangan si anak kecil luka2 dan berdarah. Pembantu rumah memandikan anak kecil itu. Sambil menyiramnya dengan air, dia ikut menangis. Anak kecil itu juga menjerit-jerit menahan pedih saat luka2nya itu terkena air. Lalu si pembantu rumah menidurkan anak kecil itu. Si ayah sengaja membiarkan anak itu tidur bersama pembantu rumah. Keesokkan harinya, kedua belah tangan si anak bengkak. Pembantu rumah mengadu ke majikannya. "Oleskan obat saja!" jawab bapak si anak.

Pulang dari kerja, dia tidak memperhatikan anak kecil itu yang menghabiskan waktu di kamar pembantu. Si ayah konon mau memberi pelajaran pada anaknya. Tiga hari berlalu, si ayah tidak pernah menjenguk anaknya sementara si ibu juga begitu, meski setiap hari bertanya kepada pembantu rumah. "Dita demam, Bu"...jawab pembantunya ringkas. "Kasih minum panadol aja ," jawab si ibu. Sebelum si ibu masuk kamar tidur dia menjenguk kamar pembantunya. Saat dilihat anaknya Dita dalam pelukan pembantu rumah, dia menutup lagi pintu kamar pembantunya. Masuk hari keempat, pembantu rumah memberitahukan tuannya bahwa suhu badan Dita terlalu panas. "Sore nanti kita bawa ke klinik. Pukul 5.00 sudah siap" kata majikannya itu. Sampai saatnya si anak yang sudah lemah dibawa ke klinik. Dokter mengarahkan agar ia dibawa ke rumah sakit karena keadaannya susah serius. Setelah beberapa hari di rawat inap dokter memanggil bapak dan ibu anak itu. "Tidak ada pilihan.." kata dokter tersebut yang mengusulkan agar kedua tangan anak itu dipotong karena sakitnya sudah terlalu parah dan infeksi akut..."Ini sudah bernanah, demi menyelamatkan nyawanya maka kedua tangannya harus dipotong dari siku ke bawah" kata dokter itu. Si bapak dan ibu bagaikan terkena halilintar mendengar kata-kata itu. Terasa dunia berhenti berputar, tapi apa yg dapat dikatakan lagi.

Si ibu meraung merangkul si anak. Dengan berat hati dan lelehan air mata isterinya, si ayah bergetar tangannya menandatangani surat persetujuan pembedahan. Keluar dari ruang bedah, selepas obat bius yang disuntikkan habis, si anak menangis kesakitan. Dia juga keheranan melihat kedua tangannya berbalut kasa putih. Ditatapnya muka ayah dan ibunya. Kemudian ke wajah pembantu rumah. Dia mengerutkan dahi melihat mereka semua menangis. Dalam siksaan menahan sakit, si anak bersuara dalam linangan air mata. "Ayah.. ibu... Dita tidak akan melakukannya lagi.... Dita tak mau lagi ayah pukul. Dita tak mau jahat lagi... Dita sayang ayah.. sayang ibu.", katanya berulang kali membuatkan si ibu gagal menahan rasa sedihnya. "Dita juga sayang Mbok
Narti.." katanya memandang wajah pembantu rumah, sekaligus membuat wanita itu meraung histeris.

"Ayah.. kembalikan tangan Dita. Untuk apa diambil.. Dita janji tidak akan mengulanginya lagi! Bagaimana caranya Dita mau makan nanti?... Bagaimana Dita mau bermain nanti?... Dita janji tdk akan mencoret2 mobil lagi, " katanya berulang-ulang.

Serasa hancur hati si ibu mendengar kata-kata anaknya. Meraung2 dia sekuat hati namun takdir yang sudah terjadi tiada manusia dapat menahannya. Nasi sudah jadi bubur. Pada akhirnya si anak cantik itu meneruskan hidupnya tanpa kedua tangan dan ia masih belum mengerti mengapa tangannya tetap harus dipotong meski sudah minta maaf…..

Tahun demi tahun kedua orang tua tsb menahan kepedihan dan kehancuran bathin sampai suatu saat Sang Ayah tak kuat lagi menahan kepedihannya dan wafat diiringi tangis penyesalannya yg tak bertepi...,
Namun..., si Anak dengan segala keterbatasan dan kekurangannya tsb tetap hidup tegar bahkan sangat sayang dan selalu merindukan ayahnya..

NB: Cerita ini sangat menginspirasi untuk semua orang tua dan semua yang akan berkeluarga atau bahkan bisa menjadi inspirasi untuk menjadi orang tua yang bijak bahwa semua perlu sebuah kelembutan untuk menghadapi anak kita nanti

Beberapa ekor lalat nampak terbang berpesta diatas sebuah tong sampah didepan sebuah rumah.
Suatu ketika anak pemilik rumah keluar dan tidak menutup kembali pintu rumah, kemudian nampak seekor lalat bergegas terbang memasuki rumah itu. Si lalat langsung menuju sebuah meja makan yang penuh dengan makanan lezat.

"Saya bosan dengan sampah-sampah itu, ini saatnya menikmati makanan segar"
katanya.

Setelah kenyang si lalat bergegas ingin keluar dan terbang menuju pintu saat dia masuk, namun ternyata pintu kaca itu telah terutup rapat. Si lalat hinggap sesaat di kaca pintu memandangi kawan-kawannya yang melambai-lambaikan tangannya seolah meminta agar dia bergabung kembali dengan mereka.

Si lalat pun terbang di sekitar kaca, sesekali melompat dan menerjang kaca itu, dengan tak kenal menyerah si lalat mencoba keluar dari pintu kaca. Lalat itu merayap mengelilingi kaca dari atas ke bawah dan dari kiri ke kanan bolak-balik demikian terus dan terus berulang-ulang. Hari makin petang si lalat itu nampak kelelahan dan kelaparan dan esok paginya nampak lalat itu terkulai lemas terkapar di lantai.

Tak jauh dari tempat itu nampak serombongan semut merah berjalan beriringan keluar dari sarangnya untuk mencari makan dan ketika menjumpai lalat yang tak berdaya itu, serentak mereka mengerumuni dan beramai-ramai menggigit tubuh lalat itu hingga mati. Kawanan semut itu pun beramai-ramai mengangkut bangkai lalat yang malang itu menuju sarang mereka.

Dalam perjalanan seekor semut kecil bertanya kepada rekannya yang lebih tua,

"Ada apa dengan lalat ini Pak? Mengapa dia sekarat?".

"Oh.. itu sering terjadi, ada saja lalat yang mati sia-sia seperti ini, sebenarnya mereka ini telah berusaha, dia sungguh-sungguh telah berjuang keras berusaha keluar dari pintu kaca itu namun ketika tak juga menemukan jalan keluar, dia frustasi dan kelelahan hingga akhirnya jatuh sekarat dan menjadi menu makan malam kita" Semut kecil itu nampak manggut-manggut, namun masih penasaran dan bertanya lagi

"Aku masih tidak mengerti, bukannya lalat itu sudah berusaha keras? Kenapa tidak berhasil?".

Masih sambil berjalan dan memangggul bangkai lalat, semut tua itu menjawab,

"Lalat itu adalah seorang yang tak kenal menyerah dan telah mencoba berulang kali, hanya saja dia melakukannyadengan cara-cara yang sama". Semut tua itu memerintahkan rekan-rekannya berhenti sejenak seraya melanjutkan perkataannya namun kali ini dengan mimik & nada lebih serius

"Ingat anak muda, jika kamu melakukan sesuatu dengan cara yang sama namun mengharapkan hasil yang berbeda, maka nasib kamu akan seperti lalat ini".

"Para pemenang tidak melakukan hal-hal yang berbeda, mereka hanya melakukannya dengan cara yang berbeda"

Tuhan Beri Aku Waktu 1 Jam Saja...
Kasih Setia Seorang Ibu dan Anak

Los Felidas adalah nama sebuah jalan di ibu kota sebuah negara di Amerika Selatan, yang terletak di kawasan terkumuh diseluruh kota .

Ada sebuah kisah yang menyebabkan jalan itu begitu dikenang orang, dan itu dimulai dari kisah seorang pengemis wanita yang juga ibu seorang gadis kecil. Tidak seorangpun yang tahu nama aslinya, tapi beberapa orang tahu sedikit masa lalunya, yaitu bahwa ia bukan penduduk asli disitu, melainkan dibawa oleh suaminya dari kampung halamannya.

Seperti kebanyakan kota besar di dunia ini, kehidupan masyarakat kota terlalu berat untuk mereka, dan belum setahun mereka di kota itu, mereka kehabisan seluruh uangnya, dan pada suatu pagi mereka sadar bahwa mereka tidak tahu dimana mereka tidur malam nanti dan tidak sepeserpun uang ada di kantong.

Padahal mereka sedang menggendong bayi mereka yang berumur 1 tahun. Dalam keadaan panik dan putus asa, mereka berjalan dari satu jalan ke jalan lainnya, dan akhirnya tiba di sebuah jalan sepi dimana puing-puing sebuah toko seperti memberi mereka sedikit tempat untuk berteduh..

Saat itu angin Desember bertiup kencang, membawa titik-titik air yang dingin. Ketika mereka beristirahat dibawah atap toko itu, sang suami berkata: "Saya harus meninggalkan kalian sekarang. Saya harus mendapatkan pekerjaan, apapun, kalau tidak malam nanti kita akan tidur disini." Setelah mencium bayinya ia pergi. Dan ia tidak pernah kembali.

Tak seorangpun yang tahu pasti kemana pria itu pergi, tapi beberapa orang seperti melihatnya menumpang kapal yang menuju ke Afrika. Selama beberapa hari berikutnya sang ibu yang malang terus menunggu kedatangan suaminya, dan bila malam tidur di emperan toko itu.

Pada hari ketiga, ketika mereka sudah kehabisan susu,orang-orang yang lewat mulai memberi mereka uang kecil, dan jadilah mereka pengemis di sana selama 6 bulan berikutnya. Pada suatu hari, tergerak oleh semangat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, ibu itu bangkit dan memutuskan untuk bekerja.

Masalahnya adalah di mana ia harus menitipkan anaknya, yang kini sudah hampir 2 tahun, dan tampak amat cantik jelita. Tampaknya tidak ada jalan lain kecuali meninggalkan anak itu disitu dan berharap agar nasib tidak memperburuk keadaan mereka. Suatu pagi ia berpesan pada anak gadisnya, agar ia tidak kemana-mana, tidak ikut siapapun yang mengajaknya pergi atau menawarkan gula-gula.

Pendek kata, gadis kecil itu tidak boleh berhubungan dengan siapapun selama ibunya tidak ditempat. "Dalam beberapa hari mama akan mendapatkan cukup uang untuk menyewa kamar kecil yang berpintu, dan kita tidak lagi tidur dengan angin di rambut kita". Gadis itu mematuhi pesan ibunya dengan penuh kesungguhan. Maka sang ibu mengatur kotak kardus dimana mereka tinggal selama 7 bulan agar tampak kosong, dan membaringkan anaknya dengan hati-hati di dalamnya. Di sebelahnya ia meletakkan sepotong roti... Kemudian, dengan mata basah ibu itu menuju ke pabrik sepatu, di mana ia bekerja sebagai pemotong kulit.

Begitulah kehidupan mereka selama beberapa hari, hingga di kantong sang Ibu kini terdapat cukup uang untuk menyewa sebuah kamar berpintu di daerah kumuh. Dengan suka cita ia menuju ke penginapan orang-orang miskin itu, dan membayar uang muka sewa kamarnya. Tapi siang itu juga sepasang suami istri pengemis yang moralnya amat rendah menculik gadis cilik itu dengan paksa, dan membawanya sejauh 300 kilometer ke pusat kota ...

Di situ mereka mendandani gadis cilik itu dengan baju baru, membedaki wajahnya, menyisir rambutnya dan membawanya ke sebuah rumah mewah dipusat kota . Di situ gadis cilik itu dijual. Pembelinya adalah pasangan suami istri dokter yang kaya, yang tidak pernah bisa punya anak sendiri walaupun mereka telah menikah selama 18 tahun.

Mereka memberi nama anak gadis itu Serrafona, dan mereka memanjakannya dengan amat sangat. Di tengah-tengah kemewahan istana itulah gadis kecil itu tumbuh dewasa. Ia belajar kebiasaan-kebiasaan orang terpelajar seperti merangkai bunga, menulis puisi dan bermain piano. Ia bergabung dengan kalangan-kalangan kelas atas, dan mengendarai Mercedes Benz kemanapun ia pergi.

Satu hal yang baru terjadi menyusul hal lainnya,dan bumi terus berputar tanpa kenal istirahat. Pada umurnya yang ke-24, Serrafona dikenal sebagai anak gadis Gubernur yang amat jelita, yang pandai bermain piano, yang aktif di gereja, dan yang sedang menyelesaikan gelar dokternya. Ia adalah figur gadis yang menjadi impian tiap pemuda, tapi cintanya direbut oleh seorang dokter muda yang welas asih, yang bernama Geraldo.

Setahun setelah pernikahan mereka, ayahnya wafat, dan Serrafona beserta suaminya mewarisi beberapa perusahaan dan sebuah real-estate sebesar 14 hektar yang diisi dengan taman bunga dan istana yang paling megah di kota itu. Menjelang hari ulang tahunnya yang ke-27, sesuatu terjadi yang merubah kehidupan wanita itu. Pagi itu Serrafona sedang membersihkan kamar mendiang ayahnya yang sudah tidak pernah dipakai lagi, dan di laci meja kerja ayahnya ia melihat selembar foto seorang anak bayi yang digendong sepasang suami istri. Selimut yang dipakai untuk menggendong bayi itu lusuh, dan bayi itu sendiri tampak tidak terurus, karena walaupun wajahnya dilapisi bedak tetapi rambutnya tetap kusam.

Sesuatu di telinga kiri bayi itu membuat jantungnya berdegup kencang. Ia mengambil kaca pembesar dan mengkonsentrasikan pandangannya pada telinga kiri itu. Kemudian ia membuka lemarinya sendiri, dan mengeluarkan sebuah kotak kayu mahoni. Di dalam kotak yang berukiran indah itu dia menyimpan seluruh barang-barang pribadinya, dari kalung-kalung berlian hingga surat-surat pribadi. Tapi diantara benda-benda mewah itu terdapat sesuatu terbungkus kapas kecil, sebentuk anting-anting melingkar yang amat sederhana, ringan dan bukan emas murni.

Ibunya almarhum memberinya benda itu sambil berpesan untuk tidak kehilangan benda itu. Ia sempat bertanya, kalau itu anting-anting, di mana satunya. Ibunya menjawab bahwa hanya itu yang ia punya. Serrafona menaruh anting-anting itu didekat foto.

Sekali lagi ia mengerahkan seluruh kemampuan melihatnya dan perlahan-lahan air matanya berlinang . Kini tak ada keragu-raguan lagi bahwa bayi itu adalah dirinya sendiri. Tapi kedua pria wanita yang menggendongnya, yang tersenyum dibuat-buat, belum penah dilihatnya sama sekali. Foto itu seolah membuka pintu lebar-lebar pada ruangan yang selama ini mengungkungi pertanyaan-pertanyaannya, misalnya: kenapa bentuk wajahnya berbeda dengan wajah kedua orang tuanya, kenapa ia tidak menuruni golongan darah ayahnya..

Saat itulah, sepotong ingatan yang sudah seperempat abad terpendam, berkilat di benaknya, bayangan seorang wanita membelai kepalanya dan mendekapnya di dada. Di ruangan itu mendadak Serrafona merasakan betapa dinginnya sekelilingnya tetapi ia juga merasa betapa hangatnya kasih sayang dan rasa aman yang dipancarkan dari dada wanita itu. Ia seolah merasakan dan mendengar lewat dekapan itu bahwa daripada berpisah lebih baik mereka mati bersama.

Matanya basah ketika ia keluar dari kamar dan menghampiri suaminya yang sedang membaca koran: "Geraldo, saya adalah anak seorang pengemis, dan mungkinkah ibu saya masih ada di jalan sekarang setelah 25 tahun?"

Itu adalah awal dari kegiatan baru mereka mencari masa lalu Serrafonna. Foto hitam-putih yang kabur itu diperbanyak puluhan ribu lembar dan disebar ke seluruh jaringan kepolisian diseluruh negeri. Sebagai anak satu-satunya dari bekas pejabat yang cukup berpengaruh di kota itu, Serrafonna mendapatkan dukungan dari seluruh kantor kearsipan, kantor surat kabar dan kantor catatan sipil..

Ia membentuk yayasan -yayasan untuk mendapatkan data dari seluruh panti-panti orang jompo dan badan-badan sosial di seluruh negeri dan mencari data tentang seorang wanita.

Bulan demi bulan lewat, tapi tak ada perkembangan apapun dari usahanya. Mencari seorang wanita yang mengemis 25 tahun yang lalu di negeri dengan populasi 90 juta bukan sesuatu yang mudah. Tapi Serrafona tidak punya pikiran untuk menyerah.. Dibantu suaminya yang begitu penuh pengertian, mereka terus menerus meningkatkan pencarian mereka. Kini, tiap kali bermobil, mereka sengaja memilih daerah-daerah kumuh, sekedar untuk lebih akrab dengan nasib baik. Terkadang ia berharap agar ibunya sudah almarhum sehingga ia tidak terlalu menanggung dosa mengabaikannya selama seperempat abad.

Tetapi ia tahu, entah bagaimana, bahwa ibunya masih ada, dan sedang menantinya sekarang. Ia memberitahu suaminya keyakinan itu berkali-kali, dan suaminya mengangguk-angguk penuh pengertian.

Pagi, siang dan sore ia berdoa: "Tuhan, ijinkan saya untuk satu permintaan terbesar dalam hidup saya: temukan saya dengan ibu saya". Tuhan mendengarkan doa itu. Suatu sore mereka menerima kabar bahwa ada seorang wanita yang mungkin bisa membantu mereka menemukan ibunya. Tanpa membuang waktu, mereka terbang ke tempat itu, sebuah rumah kumuh di daerah lampu merah, 600 km dari kota mereka.

Sekali melihat, mereka tahu bahwa wanita yang separoh buta itu, yang kini terbaring sekarat, adalah wanita di dalam foto. Dengan suara putus-putus, wanita itu mengakui bahwa ia memang pernah mencuri seorang gadis kecil ditepi jalan, sekitar 25 tahun yang lalu.

Tidak banyak yang diingatnya, tapi diluar dugaan ia masih ingat kota dan bahkan potongan jalan dimana ia mengincar gadis kecil itu dan kemudian menculiknya. Serrafona memberi anak perempuan yang menjaga wanita itu sejumlah uang, dan malam itu juga mereka mengunjungi kota dimana Serrafonna diculik.

Mereka tinggal di sebuah hotel mewah dan mengerahkan orang-orang mereka untuk mencari nama jalan itu. Semalaman Serrafona tidak bisa tidur. Untuk kesekian kalinya ia bertanya-tanya kenapa ia begitu yakin bahwa ibunya masih hidup sekarang, dan sedang menunggunya, dan ia tetap tidak tahu jawabannya.

Dua hari lewat tanpa kabar. Pada hari ketiga, pukul 18:00 senja, mereka menerima telepon dari salah seorang staff mereka. "Tuhan maha kasih, Nyonya, kalau memang Tuhan mengijinkan, kami mungkin telah menemukan ibu Nyonya. Hanya cepat sedikit, waktunya mungkin tidak banyak lagi."

Mobil mereka memasuki sebuah jalanan yang sepi, dipinggiran kota yang kumuh dan banyak angin. Rumah-rumah di sepanjang jalan itu tua-tua dan kusam. Satu, dua anak kecil tanpa baju bermain-main ditepi jalan. Dari jalanan pertama, mobil berbelok lagi kejalanan yang lebih kecil, kemudian masih belok lagi kejalanan berikut nya yang lebih kecil lagi. Semakin lama mereka masuk dalam lingkungan yang semakin menunjukkan kemiskinan.. Tubuh Serrrafona gemetar, ia seolah bisa mendengar panggilan itu. "Lekas, Serrafonna, mama menunggumu, sayang". Ia mulai berdoa "Tuhan, beri saya setahun untuk melayani mama. Saya akan melakukan apa saja".

Ketika mobil berbelok memasuki jalan yang lebih kecil, dan ia bisa membaui kemiskinan yang amat sangat, ia berdoa: "Tuhan beri saya sebulan saja". Mobil belok lagi kejalanan yang lebih kecil, dan angin yang penuh derita bertiup, berebut masuk melewati celah jendela mobil yang terbuka. Ia mendengar lagi panggilan mamanya , dan ia mulai menangis: "Tuhan, kalau sebulan terlalu banyak, cukup beri kami seminggu untuk saling memanjakan ". Ketika mereka masuk belokan terakhir, tubuhnya menggigil begitu hebat sehingga Geraldo memeluknya erat-erat.

Jalan itu bernama Los Felidas. Panjangnya sekitar 180 meter dan hanya kekumuhan yang tampak dari sisi ke sisi, dari ujung keujung. Di tengah-tengah jalan itu, di depan puing-puing sebuah toko, tampak onggokan sampah dan k anto ng-k anto ng plastik, dan ditengah-tengahnya, terbaring seorang wanita tua dengan pakaian sehitam jelaga, tidak bergerak-gerak.

Mobil mereka berhenti diantara 4 mobil mewah lainnya dan 3 mobil polisi. Di belakang mereka sebuah ambulans berhenti, diikuti empat mobil rumah sakit lain. Dari kanan kiri muncul pengemis- pengemis yang segera memenuhi tempat itu. "Belum bergerak dari tadi." lapor salah seorang. Pandangan Serrafona gelap tapi ia menguatkan dirinya untuk meraih kesadarannya dan turun.

Suaminya dengan sigap sudah meloncat keluar, memburu ibu mertuanya. "Serrafona, kemari cepat! Ibumu masih hidup, tapi kau harus menguatkan hatimu ."

Serrafona memandang tembok dihadapann ya, dan ingat saat ia menyandarkan kepalanya ke situ. Ia memandang lantai di kaki nya dan ingat ketika ia belajar berjalan. Ia membaui bau jalanan yang busuk, tapi mengingatkan nya pada masa kecilnya. Air matanya mengalir keluar ketika ia melihat suaminya menyuntikkan sesuatu ke tangan wanita yang terbaring itu dan memberinya isyarat untuk mendekat.

"Tuhan, ia meminta dengan seluruh jiwa raganya,beri kami sehari...... Tuhan, biarlah saya membiarkan mama mendekap saya dan memberitahunya bahwa selama 25 tahun ini hidup saya amat bahagia....Jadi mama tidak menyia-nyia kan saya".

Ia berlutut dan meraih kepala wanita itu ke dadanya. Wanita tua itu perlahan membuka matanya dan memandang keliling, ke arah kerumunan orang-orang berbaju mewah dan perlente, ke arah mobil-mobil yang mengkilat dan ke arah wajah penuh air mata yang tampak seperti wajahnya sendiri ketika ia masih muda.

"Mama.. ..", ia mendengar suara itu, dan ia tahu bahwa apa yang ditunggunya tiap malam - antara waras dan tidak - dan tiap hari - antara sadar dan tidak - kini menjadi kenyataan. Ia tersenyum, dan dengan seluruh kekuatannya menarik lagi jiwanya yang akan lepas.

Perlahan ia membuka genggaman tangannya, tampak sebentuk anting-anting yang sudah menghitam. Serrafona mengangguk, dan tanpa perduli sekelilingnya ia berbaring di atas jalanan itu dan merebahkan kepalanya di dada mamanya.

"Mama, saya tinggal di istana dan makan enak tiap hari. Mama jangan pergi dulu. Apapun yang mama mau bisa kita lakukan bersama-sama. Mama ingin makan, ingin tidur, ingin bertamasya, apapun bisa kita bicarakan. Mama jangan pergi dulu... Mama...."

Ketika telinganya menangkap detak jantung yang melemah, ia berdoa lagi kepada Tuhan: "Tuhan maha pengasih dan pemberi, Tuhan..... satu jam saja.... ...satu jam saja....."

Tapi dada yang didengarnya kini sunyi, sesunyi senja dan puluhan orang yang membisu. Hanya senyum itu, yang menandakan bahwa penantiannya selama seperempat abad tidak berakhir sia-sia....

================================================

MyFriendz....mungkin saat ini kita sedang beruntung. Hidup ditengah kemewahan dan kondisi berkecukupan. Mungkin kita mendapatkannya dari hasil keringat sendiri tanpa bantuan orang tua kita. Namun yang perlu kita sadari, bahwa orang tua kita senantiasa berdoa untuk kita, meski itu hanya di peraduan...

Apa yang paling dinanti seorang wanita yang baru saja menikah ?

Sudah pasti jawabannya adalah : k-e-h-a-m-i- l-a-n.

Seberapa jauh pun jalan yang harus ditempuh, Seberat apa pun langkah yang mesti diayun, Seberapa lama pun waktu yang harus dijalani, Tak kenal menyerah demi mendapatkan satu kepastian dari seorang bidan:

p-o-s-i-t-i- f.

Meski berat, tak ada yang membuatnya mampu bertahan hidup kecuali benih dalam kandungannya.

Menangis, tertawa, sedih dan bahagia tak berbeda baginya, karena ia lebih mementingkan apa yang dirasa si kecil di perutnya.

Seringkali ia bertanya : menangiskah ia? Tertawakah ia? Sedihkah atau bahagiakah ia di dalam sana?

Bahkan ketika waktunya tiba, tak ada yang mampu menandingi cinta yang pernah diberikannya, ketika itu mati pun akan dipertaruhkannya asalkan generasi penerusnya itu bisa terlahir ke dunia.

Rasa sakit pun sirna, ketika mendengar tangisan pertama si buah hati, tak peduli darah dan keringat yang terus bercucuran.

Detik itu, sebuah episode cinta baru saja berputar.

Tak ada yang lebih membanggakan untuk diperbincangkan selain anak.

Tak satu pun tema yang paling menarik untuk didiskusikan bersama rekan sekerja, teman sejawat, kerabat maupun keluarga, kecuali anak.

Si kecil baru saja berucap "Ma?" segera ia mengangkat telepon untuk mengabarkan ke semua yang ada di daftar telepon.

Saat baru pertama berdiri, ia pun berteriak histeris, antara haru, bangga dan sedikit takut si kecil terjatuh dan luka.

Hari pertama sekolah adalah saat pertama kali matanya menyaksikan langkah

awal kesuksesannya. Meskipun disaat yang sama, pikirannya terus menerawang dan bibirnya tak lepas berdoa, berharap sang suami tak terhenti rezekinya.

Agar langkah kaki kecil itu pun tak terhenti di tengah jalan.

"Demi anak", "Untuk anak", menjadi alasan utama ketika ia berada di pasar berbelanja keperluan si kecil.

Saat ia berada di pesta seorang kerabat atau keluarga dan membungkus

beberapa potong makanan dalam tissue.

Ia selalu mengingat anaknya dalam setiap suapan nasinya, setiap gigitan kuenya, setiap kali hendak berbelanja baju untuknya.

Tak jarang, ia urung membeli baju untuk dirinya sendiri dan berganti mengambil baju untuk anak.

Padahal, baru kemarin sore ia membeli baju si kecil.

Meski pun, terkadang ia harus berhutang. Lagi-lagi atas satu alasan, demi anak.

Di saat pusing pikirannya mengatur keuangan yang serba terbatas, periksalah catatannya.

Di kertas kecil itu tertulis: 1. Beli susu anak; 2. Uang sekolah anak.

Nomor urut selanjutnya baru kebutuhan yang lain. Tapi jelas di situ, kebutuhan anak senantiasa menjadi prioritasnya.

Bahkan, tak ada beras di rumah pun tak mengapa, asalkan susu si kecil tetap terbeli.

Takkan dibiarkan si kecil menangis, apa pun akan dilakukan agar senyum dan tawa riangnya tetap terdengar.

Ia menjadi guru yang tak pernah digaji, menjadi pembantu yang tak pernah dibayar, menjadi pelayan yang sering terlupa dihargai, dan menjadi babby sitter yang paling setia.

Sesekali ia menjelma menjadi puteri salju yang bernyanyi merdu menunggu suntingan sang pangeran.

Keesokannya ia rela menjadi kuda yang meringkik, berlari mengejar dan menghalau musuh agar tak mengganggu.

Atau ketika ia dengan lihainya menjadi seekor kelinci yang melompat-lompat mengelilingi kebun, mencari wortel untuk makan sehari-hari. Hanya tawa dan jerit lucu yang ingin didengarnya dari kisah-kisah yang tak pernah absen didongengkannya.

Kantuk dan lelah tak lagi dihiraukan, walau harus menyamarkan suara menguapnya dengan auman harimau. Atau berpura-pura si nenek sihir terjatuh dan mati sekadar untuk bisa memejamkan mata barang sedetik. Namun, si kecil belum juga terpejam dan memintanya menceritakan dongeng ke sekian.

Dalam kantuknya, ia pun terus mendongeng.

Tak ada yang dilakukannya di setiap pagi sebelum menyiapkan sarapan anak-anak yang akan berangkat ke kampus.

Tak satu pun yang paling ditunggu kepulangannya selain suami dan anak-anak

tercinta. Serta merta kalimat, "sudah makan belum?" tak lupa terlontar

saat baru saja memasuki rumah. Tak peduli meski si kecil yang dulu kerap ia timang dalam dekapannya itu, sekarang sudah menjadi orang dewasa yang bisa saja membeli makan siangnya sendiri di kampus.

Hari ketika si anak yang telah dewasa itu mampu mengambil keputusan

terpenting dalam hidupnya, untuk menentukan jalan hidup bersama

pasangannya, siapa yang paling menangis? Siapa yang lebih dulu menitikkan air mata? Lihatlah sudut matanya, telah menjadi samudera air mata dalam sekejap. Langkah beratnya ikhlas mengantar buah hatinya ke kursi pelaminan.

Ia menangis melihat anaknya tersenyum bahagia dibalut gaun pengantin. Di saat itu, ia pun sadar, buah hati yang bertahun-tahun menjadi kubangan curahan cintanya itu tak lagi hanya miliknya. Ada satu hati lagi yang tertambat, yang dalam harapnya ia berlirih, "Masihkah kau anakku?"

Saat senja tiba. Ketika keriput di tangan dan wajah mulai berbicara tentang usianya. Ia pun sadar, bahwa sebentar lagi masanya kan berakhir.

Hanya satu pinta yang sering terucap dari bibirnya, "Bila ibu meninggal, ibu ingin anak-anak ibu yang memandikan. Ibu ingin dimandikan sambil dipangku kalian".

Tak hanya itu, imam shalat jenazah pun ia meminta dari salah satu anaknya.

"Agar tak percuma ibu mendidik kalian menjadi anak yang shalih & shalihat sejak kecil," ujarnya.

Duh ibu, semoga saya bisa menjawab pintamu itu kelak. Bagaimana mungkin saya tak ingin memenuhi pinta itu? Sejak saya kecil ibu telah mengajarkan arti cinta sebenarnya.

Ibulah madrasah cinta saya,

Ibulah sekolah yang hanya punya satu mata pelajaran, yaitu "cinta".

Sekolah yang hanya punya satu guru yaitu "pecinta".

Sekolah yang semua murid-muridnya diberi satu nama: "anakku tercinta".

Wanita itu berjalan agak ragu memasuki hotel berbintang lima . Sang petugas satpam yang berdiri di samping pintu hotel menangkap kecurigaan pada wanita itu. Tapi dia hanya memandang saja dengan awas ke arah langkah wanita itu yang kemudian mengambil tempat duduk di lounge yang agak di pojok.
Petugas satpam itu memperhatikan sekian lama, ada sesuatu yang harus dicurigainya terhadap wanita itu. Karena dua kali waiter mendatanginya tapi,wanita itu hanya menggelengkan kepala. Mejanya masih kosong. Tak ada yang dipesan. Lantas untuk apa wanita itu duduk seorang diri. Adakah seseorang yang sedang ditunggunya. Petugas satpam itu mulai berpikir bahwa wanita itu bukanlah tipe wanita nakal yang biasa mencari mangsa di hotel ini.

Usianya nampak belum terlalu dewasa. Tapi tak bisa dibilang anak-anak. Sekitar usia remaja yang tengah beranjak dewasa. Setelah sekian lama, akhirnya memaksa petugas satpam itu untuk mendekati meja wanita itu dan bertanya:

'' Maaf, nona ... Apakah anda sedang menunggu seseorang? "

'' Tidak! '' Jawab wanita itu sambil mengalihkan wajahnya ke tempat lain.

'' Lantas untuk apa anda duduk di sini?"

'' Apakah tidak boleh? '' Wanita itu mulai memandang ke arah sang petugas satpam..

'' Maaf, Nona. Ini tempat berkelas dan hanya diperuntukan bagi orang yang ingin menikmati layanan kami.''

'' Maksud, bapak? "

'' Anda harus memesan sesuatu untuk bisa duduk disini ''

'' Nanti saya akan pesan setelah saya ada uang. Tapi sekarang, izinkanlah saya duduk di sini untuk sesuatu yang akan saya jual '' Kata wanita itu dengan suara lambat.

'' Jual? Apakah anda menjual sesuatu di sini? '' Petugas satpam itu memperhatikan wanita itu. Tak nampak ada barang yang akan dijual. Mungkin wanita ini adalah pramuniaga yang hanya membawabrosur.

'' Ok, lah. Apapun yang akan anda jual, ini bukanlah tempat untuk berjualan. Mohon mengerti. ''

'' Saya ingin menjual diri saya, '' Kata wanita itu dengan tegas sambil menatap dalam-dalam kearah petugas satpam itu. Petugas satpam itu terkesima sambil melihat ke kiri dan ke kanan.

'' Mari ikut saya, '' Kata petugas satpam itu memberikan isyarat dengan tangannya. Wanita itu menangkap sesuatu tindakan kooperativ karena ada
secuil senyum di wajah petugas satpam itu. Tanpa ragu wanita itu melangkah mengikuti petugas satpam itu. Di koridor hotel itu terdapat kursi yang hanya untuk satu orang. Disebelahnya ada telepon antar ruangan yang tersedia khusus bagi pengunjung yang ingin menghubungi penghuni kamar di hotel ini. Di tempat inilah deal berlangsung.

'' Apakah anda serius? ''

'' Saya serius '' Jawab wanita itu tegas.

'' Berapa tarif yang anda minta? ''

'' Setinggi-tingginya. .' ''

' Mengapa?" Petugas satpam itu terkejut sambil menatap wanita itu.

'' Saya masih perawan ''

'' Perawan? '' Sekarang petugas satpam itu benar-benar terperanjat. Tapi wajahnya berseri. Peluang emas untuk mendapatkan rezeki berlebih hari ini.
Pikirnya '' Bagaimana saya tahu anda masih perawan?''

'' Gampang sekali. Semua pria dewasa tahu membedakan mana perawan dan mana bukan.. Ya kan ...''

'' Kalau tidak terbukti? "

'' Tidak usah bayar ...''

'' Baiklah ...'' Petugas satpam itu menghela napas. Kemudian melirik kekiri dan ke kanan. '' Saya akan membantu mendapatkan pria kaya yang
ingin membeli keperawanan anda. ''

'' Cobalah. ''

'' Berapa tarif yang diminta? ''

'' Setinggi-tingginya. ''

'' Berapa? ''

'' Setinggi-tingginya. Saya tidak tahu berapa? ''

'' Baiklah.. Saya akan tawarkan kepada tamu hotel ini. Tunggu sebentar ya.'' Petugas satpam itu berlalu dari hadapan wanita itu.Tak berapa lama kemudian, petugas satpam itu datang lagi dengan wajah cerah.

'' Saya sudah dapatkan seorang penawar. Dia minta Rp. 5 juta. Bagaimana?''

'' Tidak adakah yang lebih tinggi? ''

'' Ini termasuk yang tertinggi, '' Petugas satpam itu mencoba meyakinkan.

'' Saya ingin yang lebih tinggi...''

'' Baiklah. Tunggu disini ...'' Petugas satpam itu berlalu.Tak berapa lama petugas satpam itu datang lagi dengan wajah lebih berseri.

'' Saya dapatkan harga yang lebih tinggi. Rp. 6 juta rupiah. Bagaimana? ''

'' Tidak adakah yang lebih tinggi? ''

'' Nona, ini harga sangat pantas untuk anda. Cobalah bayangkan, bila anda diperkosa oleh pria, anda tidak akan mendapatkan apa apa. Atau
andai perawananda diambil oleh pacar anda, andapun tidak akan mendapatkan apa apa, kecuali janji. Dengan uang Rp. 6 juta anda akan menikmati layanan hotelberbintang untuk semalam dan keesokan paginya anda bisa melupakan semuanya dengan membawa uang banyak. Dan lagi, anda juga telah berbuat baikterhadap saya. Karena saya akan mendapatkan komisi dari transaksi ini dari tamu hotel. Adilkan. Kita sama-sama butuh ... ''

'' Saya ingin tawaran tertinggi ... '' Jawab wanita itu, tanpa peduli dengan celoteh petugas satpam itu. Petugas satpam itu terdiam. Namun tidak kehilangan semangat.

'' Baiklah, saya akan carikan tamu lainnya. Tapi sebaiknya anda ikut saya.Tolong kancing baju anda disingkapkan sedikit. Agar ada sesuatu yang memancing mata orang untuk membeli.

'' Kata petugas satpam itu dengan agak kesal. Wanita itu tak peduli dengan saran petugas satpam itu tapi tetap mengikuti langkah petugas satpam itu memasuki lift. Pintu kamar hotel itu terbuka. Dari dalam nampak pria bermata sipit agak berumur tersenyum menatap mereka berdua.

'' Ini yang saya maksud, tuan. Apakah tuan berminat? " Kata petugas satpam itu dengan sopan. Pria bermata sipit itu menatap dengan seksama ke sekujur tubuh wanita itu...

'' Berapa? '' Tanya pria itu kepada Wanita itu.

'' Setinggi-tingginya '' Jawab wanita itu dengan tegas.

'' Berapa harga tertinggi yang sudah ditawar orang? '' Kata pria itu kepada sang petugas satpam.

'' Rp.. 6 juta, tuan ''

'' Kalau begitu saya berani dengan harga Rp. 7 juta untuk semalam.'' Wanita itu terdiam. Petugas satpam itu memandang ke arah wanita itu dan berharap ada jawabanbagus dari wanita itu.

'' Bagaimana? '' tanya pria itu.

''Saya ingin lebih tinggi lagi ...'' Kata wanita itu. Petugas satpam itu tersenyum kecut.

'' Bawa pergi wanita ini. '' Kata pria itu kepada petugas satpam sambil menutup pintu kamar dengan keras.

'' Nona, anda telah membuat saya kesal. Apakah anda benar benar ingin menjual? ''

'' Tentu! ''

'' Kalau begitu mengapa anda menolak harga tertinggi itu ... ''

'' Saya minta yang lebih tinggi lagi ...''

Petugas satpam itu menghela napas panjang. Seakan menahan emosi. Dia pun tak ingin kesempatan ini hilang. Dicobanya untuk tetap membuat wanita itu merasa nyaman bersamanya.

'' Kalau begitu, kamu tunggu di tempat tadi saja, ya. Saya akan mencoba mencari penawar yang lainnya. ''

Di lobi hotel, petugas satpam itu berusaha memandang satu per satu pria yang ada. Berusaha mencari langganan yang biasa memesan wanita melaluinya. Sudahsekian lama, tak ada yang nampak dikenalnya. Namun, tak begitu jauh dari hadapannya ada seorang pria yang sedang berbicara lewat telepongenggamnya.

'' Bukankah kemarin saya sudah kasih kamu uang 25 juta Rupiah. Apakah itu tidak cukup?

" Terdengar suara pria itu berbicara.Wajah pria itu nampak masam seketika

'' Datanglah kemari. Saya tunggu. Saya kangen kamu. Kan sudah seminggu lebih kita engga ketemu, ya sayang?! ''

Kini petugas satpam itu tahu, bahwa pria itu sedang berbicara dengan wanita. Kemudian, dilihatnya, pria itu menutup teleponnya. Ada kekesalan di wajahpria itu. Dengan tenang, petugas satpam itu berkata kepada Pria itu:

'' Pak, apakah anda butuh wanita ... ??? '' Pria itu menatap sekilas kearah petugas satpam dan kemudian memalingkan wajahnya.

'' Ada wanita yang duduk disana, '' Petugas satpam itu menujuk kearah wanita tadi. Petugas satpam itu tak kehilangan akal untuk memanfaatkan peluang ini.

"Dia masih perawan..'' Pria itu mendekati petugas satpam itu. Wajah mereka hanya berjarak setengah meter.

'' Benarkah itu? ''

'' Benar, pak. ''

'' Kalau begitu kenalkan saya dengan wanita itu ... ''

'' Dengan senang hati. Tapi, pak ...Wanita itu minta harga setinggi tingginya.'' '

'' Saya tidak peduli ... '' Pria itu menjawab dengan tegas. Pria itu menyalami hangat wanita itu.

'' Bapak ini siap membayar berapapun yang kamu minta. Nah, sekarang seriuslah ....'' Kata petugas satpam itu dengan nada kesal.

'' Mari kita bicara di kamar saja.'' Kata pria itu sambil menyisipkan uang kepada petugas satpam itu. Wanita itu mengikuti pria itu menuju
kamarnya.

Di dalam kamar ...'' Beritahu berapa harga yang kamu minta? ''

'' Seharga untuk kesembuhan ibu saya dari penyakit ''

'' Maksud kamu? ''

'' Saya ingin menjual satu satunya harta dan kehormatan saya untuk kesembuhan ibu saya. Itulah cara saya berterima kasih .... ''

'' Hanya itu ...''

'' Ya ...! ''

Pria itu memperhatikan wajah wanita itu.. Nampak terlalu muda untuk menjual kehormatannya. Wanita ini tidak menjual cintanya. Tidak pula
menjual penderitaannya. Tidak! Dia hanya ingin tampil sebagai petarung gagah berani di tengah kehidupan sosial yang tak lagi gratis. Pria ini
sadar, bahwa di hadapannya ada sesuatu kehormatan yang tak ternilai. Melebihi dari kehormatan sebuah perawan bagi wanita. Yaitu keteguhan
untuk sebuah pengorbanan tanpa ada rasa sesal.. Wanta ini tidak melawan gelombang laut melainkan ikut kemana gelombang membawa dia pergi. Ada
kepasrahan diatas keyakinan tak tertandingi. Bahwa kehormatan akan selalu bernilai dan dibeli oleh orang terhormat pula dengan cara-cara terhormat.

'' Siapa nama kamu? ''

'' Itu tidak penting. Sebutkanlah harga yang bisa bapak bayar ... '' Kata wanita itu

'' Saya tak bisa menyebutkan harganya. Karena kamu bukanlah sesuatu yang pantas ditawar. ''

''Kalau begitu, tidak ada kesepakatan! ''

'' Ada ! " Kata pria itu seketika.

'' Sebutkan! ''

'' Saya membayar keberanianmu. Itulah yang dapat saya beli dari kamu.Terimalah uang ini. Jumlahnya lebih dari cukup untuk membawa ibumu
ke rumah sakit. Dan sekarang pulanglah ... '' Kata pria itu sambil menyerahkan uang dari dalam tas kerjanya.

'' Saya tidak mengerti ...''

'' Selama ini saya selalu memanjakan istri simpanan saya .Dia menikmati semua pemberian saya tapi dia tak pernah berterima kasih. Selalu memeras. Sekali saya memberi maka selamanya dia selalu meminta. Tapi hari ini, saya bisa membeli rasa terima kasih dari seorang wanita yang gagah berani untuk berkorban bagi orang tuanya. Ini suatu kehormatan yang tak ada nilainya bila saya bisa membayar ...''

'' Dan, apakah bapak ikhlas....? ''

'' Apakah uang itu kurang? ''

'' Lebih dari cukup, pak ... ''

'' Sebelum kamu pergi, boleh saya bertanya satu hal? ''

'' Silahkan ...''

'' Mengapa kamu begitu beraninya ... ''

'' Siapa bilang saya berani. Saya takut pak ...Tapi lebih dari seminggu saya berupaya mendapatkan cara untuk membawa ibu saya ke rumah sakit dan semuanya gagal. Ketika saya mengambil keputusan untuk menjual kehormatan saya maka itu bukanlah karena dorongan nafsu. Bukan pula pertimbangan akal saya yang `bodoh` ... Saya hanya bersikap dan berbuat untuk sebuah keyakinan ... ''

'' Keyakinan apa? ''

'' Jika kita ikhlas berkorban untuk ibu atau siapa saja, maka Tuhan lah yang akan menjaga kehormatan kita .... '' Wanita itu kemudian melangkah
keluarkamar.

Sebelum sampai di pintu wanita itu berkata: '' Lantas apa yang bapak dapat dari membeli ini ... ''

'' Kesadaran... ''

... . .Di sebuah rumah di pemukiman kumuh. Seorang ibu yang sedang terbaring sakit dikejutkan oleh dekapan hangat anaknya.

'' Kamu sudah pulang, nak ''

'' Ya, bu ... ''

'' Kemana saja kamu, nak ... ???''

'' Menjual sesuatu, bu ... ''

'' Apa yang kamu jual?'' Ibu itu menampakkan wajah keheranan. Tapi wanita muda itu hanya tersenyum ...Hidup sebagai yatim lagi miskin terlalu sia-sia untuk diratapi di tengah kehidupan yang serba pongah ini. Di tengah situasi yang tak ada lagi yang gratis. Semua orang berdagang. Membeli dan menjual adalah keseharian yang tak bisa dielakan.. Tapi Tuhan selalu memberi tanpa pamrih, tanpa perhitungan.

....
'' Kini saatnya ibu untuk berobat ... ''
Digendongnya ibunya dari pembaringan, sambil berkata: '' Tuhan telah membeli yang saya jual... ''.
Taksi yang tadi ditumpanginya dari hotel masih setia menunggu di depan rumahnya. Dimasukannya ibunya ke dalam taksi dengan hati-hati dan berkata kepada supir taksi:

'' Antar kami kerumah sakit ...''

Anak Yang Mencoret Mobil Ayahnya

Sepasang suami isteri - seperti pasangan lain di kota-kota besar meninggalkan anak-anak diasuh pembantu rumah sewaktu bekerja. Anak tunggal pasangan ini, perempuan cantik berusia tiga setengah tahun. Sendirian ia di rumah dan kerap kali dibiarkan pembantunya karena sibuk bekerja di dapur. Bermainlah dia bersama ayun-ayunan di atas buaian yang dibeli ayahnya, ataupun memetik bunga dan lain-lain di halaman rumahnya.

Suatu hari dia melihat sebatang paku karat. Dan ia pun mencoret lantai tempat mobil ayahnya diparkirkan mobil1.jpg, tetapi karena lantainya terbuat dari marmer maka coretan tidak kelihatan. Dicobanya lagi pada mobil baru ayahnya. Ya… karena mobil itu bewarna gelap, maka coretannya tampak jelas. Apalagi anak-anak ini pun membuat coretan sesuai dengan kreativitasnya.

Hari itu ayah dan ibunya bermotor ke tempat kerja motor.jpgkarena ingin menghindari macet. Setelah sebelah kanan mobil sudah penuh coretan maka ia beralih ke sebelah kiri mobil. Dibuatnya gambar ibu dan ayahnya, gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan lain sebagainya mengikut imaginasinya. Kejadian itu berlangsung tanpa disadari oleh si pembantu rumah.

Saat pulang petang, terkejutlah pasangan suami istri itu melihat mobil yang baru setahun dibeli dengan bayaran angsuran yang masih lama lunasnya. Si bapak yang belum lagi masuk ke rumah ini pun terus menjerit, “Kerjaan siapa ini !!!” …. Pembantu rumah yang tersentak engan jeritan itu berlari keluar. Dia juga beristighfar. Mukanya merah adam ketakutan lebih-lebih melihat wajah bengis tuannya. Sekali lagi diajukan pertanyaan keras kepadanya, dia terus mengatakan ‘ Saya tidak tahu..tuan.” “Kamu dirumah sepanjang hari, apa saja yg kau lakukan?” hardik si isteri lagi.

Si anak yang mendengar suara ayahnya, tiba-tiba berlari keluar dari kamarnya. Dengan penuh manja dia berkata “Dita yg membuat gambar itu ayahhh.. cantik …kan!” katanya sambil memeluk ayahnya sambil bermanja seperti biasa.. Si ayah yang sudah hilang kesabaran mengambil sebatang ranting kecil dari pohon di depan rumahnya, terus dipukulkannya berkali-kali ke telapak tangan anaknya . Si anak yang tak mengerti apa apa menagis kesakitan, pedih sekaligus ketakutan. Puas memukul telapak tangan, si ayah memukul pula belakang tangan anaknya.

Sedangkan Si ibu cuma mendiamkan saja, seolah merestui dan merasa puas dengan hukuman yang dikenakan. Pembantu rumah terbengong, tidak tahu harus berbuat apa… Si ayah cukup lama memukul-mukul tangan kanan dan kemudian ganti tangan kiri anaknya. Setelah si ayah masuk ke rumah diikuti si ibu, pembantu rumah tersebut menggendong anak kecil itu, membawanya ke kamar.

Dia terperanjat melihat telapak tangan dan belakang tangan si anak kecil luka-luka dan berdarah. Pembantu rumah memandikan anak kecil itu. Sambil menyiramnya dengan air, dia ikut menangis. Anak kecil itu juga menjerit-jerit menahan pedih saat luka-lukanya itu terkena air. Lalu si pembantu rumah menidurkan anak kecil itu. Si ayah sengaja membiarkan anak itu tidur bersama pembantu rumah. Keesokkan harinya, kedua belah tangan si anak bengkak. Pembantu rumah mengadu ke majikannya. “Oleskan obat saja!” jawab bapak si anak.

Pulang dari kerja, dia tidak memperhatikan anak kecil itu yang menghabiskan waktu di kamar pembantu. Si ayah konon mau memberi pelajaran pada anaknya. Tiga hari berlalu, si ayah tidak pernah menjenguk anaknya sementara si ibu juga begitu, meski setiap hari bertanya kepada pembantu rumah. “Dita demam, Bu”…jawab pembantunya ringkas. “Kasih minum panadol aja ,” jawab si ibu. Sebelum si ibu masuk kamar tidur dia menjenguk kamar pembantunya. Saat dilihat anaknya Dita dalam pelukan pembantu rumah, dia menutup lagi pintu kamar pembantunya.

Masuk hari keempat, pembantu rumah memberitahukan tuannya bahwa suhu badan Dita terlalu panas. “Sore nanti kita bawa ke klinik.. Pukul 5.00 sudah siap” kata majikannya itu. Sampai saatnya si anak yang sudah lemah dibawa ke klinik. Dokter mengarahkan agar ia dibawa ke rumah sakit karena keadaannya susah serius. Setelah beberapa hari di rawat inap dokter memanggil bapak dan ibu anak itu. “Tidak ada pilihan..” kata dokter tersebut yang mengusulkan agar kedua tangan anak itu dipotong karena sakitnya sudah terlalu parah dan infeksi akut…”Ini sudah bernanah, demi menyelamatkan nyawanya maka kedua tangannya harus dipotong dari siku ke bawah” kata dokter itu. Si bapak dan ibu bagaikan terkena halilintar mendengar kata-kata itu. Terasa dunia berhenti berputar, tapi apa yg dapat dikatakan lagi.

Si ibu meraung merangkul si anak. Dengan berat hati dan lelehan air mata isterinya, si ayah bergetar tangannya menandatangani surat persetujuan pembedahan. Keluar dari ruang bedah, selepas obat bius yang disuntikkan habis, si anak menangis kesakitan. Dia juga keheranan melihat kedua tangannya berbalut kasa putih. Ditatapnya muka ayah dan ibunya. Kemudian ke wajah pembantu rumah. Dia mengerutkan dahi melihat mereka semua menangis. Dalam siksaan menahan sakit, si anak bersuara dalam linangan air mata. “Ayah.. ibu… Dita tidak akan melakukannya lagi…. Dita tak mau lagi ayah pukul. Dita tak mau jahat lagi… Dita sayang ayah..sayang ibu.”, katanya berulang kali membuatkan si ibu gagal menahan rasa sedihnya. “Dita juga sayang Mbok Narti..” katanya memandang wajah pembantu rumah, sekaligus membuat wanita itu meraung histeris.

“Ayah.. kembalikan tangan Dita. Untuk apa diambil.. Dita janji tidak akan mengulanginya lagi! Bagaimana caranya Dita mau makan nanti ?… Bagaimana Dita mau bermain nanti ?… Dita janji tidak akan mencoret-coret mobil lagi, ” katanya berulang-ulang. Serasa hancur hati si ibu mendengar kata-kata anaknya. Meraung-raung dia sekuat hati namun takdir yang sudah terjadi tiada manusia dapat menahannya. Nasi sudah jadi bubur. Pada akhirnya si anak cantik itu meneruskan hidupnya tanpa kedua tangan dan ia masih belum mengerti mengapa tangannya tetap harus dipotong meski sudah minta maaf…Tahun demi tahun kedua orang tua tersebut menahan kepedihan dan kehancuran bathin sampai suatu saat Sang Ayah tak kuat lagi menahan kepedihannya dan wafat diiringi tangis penyesalannya yg tak bertepi…, Namun…., si Anak dengan segala keterbatasan dan kekurangannya tersebut tetap hidup tegar bahkan sangat sayang dan selalu merindukan ayahnya..

Akhirnya sampai juga eps terakhir kisah ini, selamat dinikmati, cocok untuk bermalam jumat hahaha


Grace melangkahkan kakinya dengan agak terburu-buru. Ia melihat ke arah kolam dan menemukan temannya, Arlene dan si mandor dari villa seberang sedang bercengkerama selepas persenggamaan mereka.
“Non Grace, kemana aja dari tadi? ayo sini dong, ikut berenang !” ajak Parjo.
“Len, gua agak ga enak badan, lu orang masuk aja dulu” kata gadis itu tanpa menghiraukan panggilan Parjo, nampak ia sesekali menyedot hidungnya dan menutup mulut dan hidung dengan tangan.
“Ohh…jadi lu udah ga tahan yah” wajah Arlene berubah serius, sepertinya ia mengerti apa yang terjadi dengan temannya itu, “Mmm…Pak kita masuk ke dalam aja dulu, disini kan udah dingin”
Parjo meskipun agak bingung menurut saja apa yang diminta gadis itu. Ia segera keluar dari kolam dan memunguti pakaiannya.
“Udah, bawa aja nggak usah dipakai, ntar juga dilepas lagi !” kata Arlene menarik lengan pria itu.
“Ehh…iya, iya deh Non…Non Grace ayo masuk juga katanya gak enak badan kok malah di luar”
“Ayo Pak, dia mau minum obat dulu, yuk kita masuk duluan !” Arlene segera menyeretnya seolah sedang menyembunyikan sesuatu.
Setelah keduanya menghilang dibalik pintu, Grace menyapukan pandangan matanya yang tiba-tiba berubah tajam ke sekelilingnya, entah apa yang sedang dicarinya.
----------------------------------------------
Parjo terbengong melihat dua temannya, Amin dan Gozhi sedang melakukan double penetration terhadap Samantha di sofa.
“Jadi kalian udah bermaksud ngegoda kita nih daritadi?” kata Parjo pada Arlene yang nampak biasa saja melihat adegan itu.
“Nggak juga, kalian saja laki-laki yang gak bisa nahan nafsu…tapi jujur aja kita emang suka bikin acara ginian kok kalau lagi kesini” jawab Arlene tersenyum nakal.
“Asyik Jo…malem ini kita pesta !” sahut Amin sambil terus menusuk-nusukan penisnya ke dubur Sam.
“Hehe…ayo Non kita terusin lagi tadi, tambah panas aja nih” Parjo memeluk Arlene dan menciumi wajahnya yang cantik, gadis itu tertawa dan mendesah geli menanggapinya.
“Misi bentar yah, Pak saya mau liat Grace dulu, sekalian manggil dia kesini” Arlene tiba-tiba melepaskan dekapan pria itu dan meminta diri, “Bapak sama teman saya yang lain aja dulu yah”
“Hahaha…oke deh Non, saya tunggu yah, jangan lama-lama” Parjo melepaskannya lalu mencubit pantatnya.
Setelah Arlene keluar, Parjo menghampiri ketiga orang yang sedang asyik ber-threesome di sofa itu. Penisnya sudah mengacung tegak karena begitu terangsang dengan pemandangan di hadapannya ini.
“Udah lama nih ?” tanyanya.
“Lumayan…hhhsshh…dari kita ngeliat Bos nyebur ke kolam tadilah” jawab Gozhi tersenggal-senggal.
Sam tanpa diminta meraih penis Parjo yang sedang berdiri di dekatnya itu dan mengocoknya.
--------------------------------------------
Arlene kembali ke daerah kolam renang untuk memantau kondisi Grace, tanpa selembar pakaianpun menempel di tubuhnya selain sandal. Ia mencari sejenak sambil memanggil nama temannya itu sebelum akhirnya menemukannya sedang berjongkok di suatu sudut dekat semak-semak. Arlene berjalan menghampirinya sambil memanggil, namun Grace tetap berjongkok membelakanginya, sepertinya ia sedang sibuk melahap sesuatu.
“Grace…gimana?” tanya Arlene menepuk pundak temannya itu.
Gadis itu menolehkan wajah, mulutnya belepotan darah, wajahnya lebih pucat dan sebelah kirinya telah rusak seperti meleleh nampak begitu mengerikan, matanya yang indah itu berubah jadi seram seperti mata ular. Di tangannya yang juga berlumuran darah memegang seekor tikus sebesar anak kucing yang sudah tidak berkepala. Siapapun yang melihatnya dalam keadaan demikian tentu akan terkejut dan menjerit ketakutan atau bahkan mungkin pingsan.
“Kalau udah cepat kembali lagi yah” kata Arlene yang biasa saja melihat perubahan mengerikan pada temannya itu.
Grace hanya mengangguk lalu meneruskan menggerogoti tikus di genggamannya itu seperti binatang buas memakan mangsanya.
“Oke kalau gitu, gua balik dulu yah, takutnya ada yang kesini” setelah memastikan semua baik-baik saja, Arlene meninggalkannya dan kembali ke dalam.
Grace melahap binatang itu seperti sebuah makanan enak, kulit, daging beserta isi perutnya ditelan bulat-bulat tanpa sisa, darah menetes-netes membasahi tangannya dan rumput di bawahnya. Sungguh sebuah pemandangan mengerikan sekaligus memualkan. Ia baru bangkit berdiri setelah menghabiskan binatang itu hingga tinggal tulang-tulang yang berlumuran darah. Wajah sebelahnya yang seperti meleleh itu berangsur-angsur kembali menjadi halus seperti semula. Matanya memandang ke arah bangunan utama dengan sorot mata dingin, di bibirnya yang masih belepotan darah tergurat sebuah senyum jahat.
-------------------------------
Mamat keluar dari kamar mandi menemukan ketiga temannya sedang mengeroyok Samantha.
“Wah asyik nih, yang lain pada kemana?” tanyanya.
“Lagi keluar sebentar, katanya mau minum obat, ntar juga balik kok…huehehe, asyik nih Mat” sahut Parjo yang penisnya sedang dikocok oleh Sam.
“Abis ngent*t juga lu Mat?” tanya Amin.
“Iya di kamar mandi tuh, sip banget deh”
Saat itu Gozhi sudah diambang orgasme, ia mengerang-ngerang sambil menyentakkan pinggulnya ke atas sehingga penisnya menancap sedalam-dalamnya. Kembali si muka bopeng itu menembakkan spermanya di dalam rahim Sam, tubuh gempalnya berkelejotan karena terpaan gelombang orgasme.
“Si Arlene mana Bos? Gua juga pengen nyobain dia nih!” tanya Mamat yang nafsunya mulai bangkit lagi.
“Sana keluar sana, tadi lagi nemenin Grace minum obat dulu...uhhh…sip!” Parjo menunjuk ke arah pintu.
Segera Mamat berjalan ke arah yang ditunjuk mandornya. Ketika akan menyentuh gagang pintu, tiba-tiba pintu itu sudah dibuka dari luar.
“Mau kemana Bang ?” tanya Arlene yang baru muncul dengan santainya.
“Eh…si Non, baru aja Abang mau nyariin ehh…udah nongol duluan” kata Mamat cengegesan, matanya menatap takjub tubuh telanjang Arlene di hadapannya yang hanya memakai alas kaki.

“Cari saya mau apa?” tanya Arlene cuek.
“Hehehe…ya mau main bareng Non dong, boleh kan?” pinta pria itu sambil nyengir mesum.
“Dasar, Abang bukannya baru main sama si Katherine, mana dia?”
“Anu Non, masih di kamar mandi, katanya mau buang air dulu, tar lagi juga keluar kok” jawabnya, “Gimana Non, mau kan sama saya ?” ia menarik lengan gadis itu dan mendekap tubuhnya.
“Iiihhh…Abang, genit banget sih, ga usah buru-buru gitu ah!” Arlene mendorong tubuh kurus Mamat dan berjalan arah sofa tunggal.
Ia menjatuhkan pantatnya ke sana, Mamat yang mengikutinya dari belakang kini berdiri di depannya sambil menggenggam penisnya yang tertodong ke arahnya. Sebelum ia sempat meminta, gadis itu sudah terlebih dulu meraih penisnya lalu menjilatinya perlahan.
“Uuuhhh !!” erang Mamat merasakan nikmatnya sapuan lidah gadis itu pada penisnya.
Setiap sentuhan lidah gadis itu membuat Mamat tersentak-sentak seperti tersengat listrik, apalagi lidah itu menjilatinya memutar di dalam mulutnya yang hangat dan basah. Tubuh pria itu bergetar merasakan nikmat bagaikan melambung ke awan. Hisapan Arlene semakin dahsyat, ia memaju-mundurkan kepalanya sehingga penis pria itu keluar masuk dengan suara berdecap. Sementara itu di sebelah mereka, Samantha mengerang panjang dengan tubuh menegang. Rupanya ia sedang dihempas gelombang orgasme, tubuhnya mengejang selama beberapa saat sebelum ambruk diatas tubuh gempal Gozhi yang berbaring di bawahnya. Amin yang masih belum keluar masih terus menggenjoti gadis itu secara anal.

Saat itu pintu kamar mandi terbuka dan Katherine keluar dari dalam hanya memakai selembar handuk yang terlilit di tubuhnya. Melihat ada ‘barang baru’, Parjo yang daritadi cuma kebagian handjob menghampiri gadis itu.
“Non Katherine yah ? saya Parjo, mandor yang bangun villa di seberang” pria itu memperkenalkan dirinya.
Katherine hanya tersenyum membalas sapaannya, ia sempat terperangah sejenak melihat penis pria itu yang dalam keadaan tegang maksimal.
“Eehh…mau kemana Non, kok ngelengos gitu aja?” Parjo menghalangi langkahnya ketika gadis itu berjalan hendak meninggalkan ruang itu.
“Aduh…please dong Pak, saya kan mau ke kamar” ucap Katherine sambil menepis tangan Parjo yang mendekapnya.
“Hehehe…saya temenin yah Non, kamarnya dimana emang?”
“Di atas sana, udah ah Pak minggir dulu!” Katherine dengan ketus melewati Parjo.
Tiba-tiba sebuah jeritan kecil keluar dari mulut mungilnya, ternyata Parjo dengan sigap mendekap tubuh gadis itu dan mengangkatnya dalam gendongannya. Dengan tubuhnya yang berisi itu, tubuh Katherine bukanlah beban berat baginya.
“Aaah…apaain sih !? lepasin!!” jeritnya sambil meronta-ronta dalam gendongan Parjo.
“Hus..hus…jangan banyak gerak Non ntar jatuh, hehehe !” pria itu tertawa-tawa sambil berjalan ke arah tangga dengan kedua tangan menggendong gadis itu.

Keperkasaan Parjo menggendongnya sambil menaiki tangga tanpa terengah-engah dan wajahnya yang kasar macho itu dengan cepat meluluhkan pertahanan Katherine. Pemberontakannya yang pada dasarnya hanya pura-pura itu pun mengendur. Ia tidak lagi meronta-ronta ingin turun, malah melingkarkan tangannya ke pundak pria itu.
“Sini…disini Pak!” katanya ketika mereka sampai di depan sebuah pintu.
Parjo hanya perlu mendorong pintu yang setengah terbuka itu dengan bahunya. Di kamar yang cukup luas itu terdapat sebuah ranjang ukuran double, lemari, dan meja rias. Melalui sebuah pintu kaca bertirai penghuninya dapat melihat ke arah lembah di belakang villa yang indah. Interior dan perabotan kamar itu simpel tapi berkesan elegan, sungguh suasana yang diatur sedemikian rupa sehingga menimbulkan kesan tenang dan menyejukan apalagi ditambah suasana malam. Setelah meletakkan tubuh Katherine di ranjang, Parjo menutup pintu dan menekan saklar di tembok sehingga cahaya neon berwarna kuning menyala menerangi kamar itu.
“Kalau gini kan suasananya romantis Non, cuma kita berdua aja” katanya sambil berjalan ke ranjang, “ngapain ditutup-tutup Non? Daritadi semua udah telanjang kok” seraya menarik lepas handuk yang melilit tubuh gadis itu.
Ditatapnya keindahan tubuh Katherine serta wajahnya yang cantik, sepasang buah dada yang tidak terlalu besar dan kemaluan yang berbulu lebat, sungguh pemandangan yang menggugah birahi. Ia menindih tubuh gadis itu dan menghujaninya dengan ciuman. Katherine yang sudah pasrah membalas cumbuan pria itu, ia membiarkan tangan kasar pria itu menjamahi lekuk-lekuk tubuhnya. Mulut pria itu semakin turun ke bawah hingga ke payudaranya.

Katherine mengerang perlahan merasakan putingnya dipilin-pilin oleh jari mandor itu sementara puting yang satunya dihisap-hisap olehnya. Ia cepat sekali terhanyut oleh alunan birahi yang dibangkitkan dengan sempurna oleh Parjo. Tubuhnya menggeliat-geliat tak terkendali, matanya terpejam nikmat. Seluruh ujung-ujung syaraf di badannya menimbulkan rasa geli yang sensual. Satu tangan Parjo merayap turun dan mulai bermain di kewanitaannya, mengusap-usap dan membelai bibirnya. Kemudian tangannya yang satu menarik paha gadis itu sehingga selangkangannya terbuka semakin lebar. Jari-jari besar pria itu menguak bibir vaginanya dan jarinya yang lain menemukan ‘si kecil merah’nya.
“Eengghh…aahhh !” jerit Katherine tertahan merasakan kenikmatan menyerangnya dari berbagai arah.
Tubuh gadis itu menggeliat-geliat kegelian karena Parjo mengurut-urut tonjolan kecil itu dengan jari tengahnya. Puas menghisap payudara itu, Parjo mengarahkan mulutnya ke bawah meninggalkan bekas ludah dan cupangan memerah pada kulit payudara yang putih mulus itu. Mulut pria itu mulai menghisap-hisap daging kecil yang sensitif itu dengan satu jarinya mengorek-ngorek liang sorgawinya. Katherine mengerang keras bahkan setengah berteriak merasakan geli-nikmat itu merasuki tubuhnya. Sebentar saja orgasme kecil menyelubunginya. Sebuah sedotan kuat dari mulut pria itu menjebol tanggul orgasmenya. Tubuh Katherine sampai menekuk ke atas dan tulang rusuknya tercetak sebelum akhirnya melemas kembali dengan nafas memburu.

Parjo melahap cairan kewanitaan gadis itu dengan lahapnya, wajahnya dibenamkan dalam-dalam seolah mau memasuki vaginanya. Ia baru mengangkat wajahnya setelah puas menghirup lendir orgasme Katherine.
“Hah!! Non Grace? sejak kapan disitu !!?” Parjo agak terlonjak kaget melihat Grace yang tahu-tahu sudah berada di dalam kamar itu, dengan santainya ia duduk melipat tangan di sebuah kursi memandangi mereka, padahal tidak terdengar sama sekali pintu dibuka atau ada orang datang, “saya…saya kok ga tau Non masuk ?”
“Udah lumayan lama, Bapak aja kali yang terlalu asyik sampai gak liat saya datang” jawabnya tersenyum sinis, “omong-omong, apa saya boleh ikut meramaikan?”
Ia berdiri dan berjalan ke arah ranjang sambil membuka tali pinggang kimononya, selanjutnya kimono kuning itu jatuh ke lantai. Parjo melotot dan menelan ludah melihat tubuh Grace yang sudah tidak memakai apa-apa lagi, begitu langsing dan mulus, payudaranya lebih montok dari Katherine. Ia sungguh bersyukur, dari kerja keras seharian penuh ditambah omelan si pemilik villa yang sedang dikerjakannya akhirnya bisa mendapat kesempatan emas yang tidak pernah dimimpikannya. Parjo sudah begitu bernafsu melakukan threesome dengan dua bidadari sehingga begitu Grace naik ke ranjang ia langsung mendekap dan melumat bibir gadis itu. Keduanya berpelukan dan bercumbu penuh nafsu dalam posisi berlutut di ranjang. Tiba-tiba Parjo merasakan sepasang tangan halus memeluk dadanya dari belakang dan payudara pemilik tangan itu bersentuhan dengan dadanya. Seperti di surga saja rasanya, kalau saja di versi komik manga, hidung Parjo tentu sudah mimisan deras.
-----------------------------------
“Non kita masuk kamar aja yuk, biar lebih enak mainnya” kata Mamat setelah menarik lepas penisnya dari mulut Arlene, ia tidak ingin keluar terlalu cepat apalagi masih dua lagi dari gadis-gadis itu yang harus dicicipinya.
Arlene mengangguk dan berdiri, digandengnya tangan pria itu meninggalkan Samantha dengan dua orang kuli bangunan lainnya yang sedang beristirahat memulihkan tenaga. Nampak sperma berceceran di pantat dan punggung Sam, cairan putih kental itu berasal dari Amin yang kini terduduk lesu di sofa panjang itu. Gozhi yang juga sudah lemas memeluk Sam yang menindih tubuhnya. Arlene membuka sebuah pintu kamar tidak jauh dari dapur dan menyalakan lampunya. Kamar itu tidaklah sebesar yang di lantai atas tempat Parjo sedang bersenang-senang dengan Katherine dan Grace, kira-kira ukuran single room untuk kamar hotel. Hanya ada sebuah ranjang untuk seorang disitu dan di bawahnya ada sebuah kasur bersprei, sebuah meja kayu jati serta kursinya. Begitu naik ranjang Mamat langsung menindih Arlene.
“Abang masukin sekarang yah Non” kata Mamat sambil meremas payudaranya.
“Iya Bang…saya nngghh !” Arlene melenguh ketika vaginanya diterobos penis si kuli bangunan itu.
“Uuii…sempitnya memiaw Non Arlene !” ceracau Mamat merasakan himpitan dinding vagina gadis itu.
Sesaat kemudian tubuh Mamat sudah naik-turun di atas tubuh Arlene. Selain menggenjot, ia juga menciumi atau menjilati wajah gadis itu. Arlene sendiri menggelinjang nikmat, tangannya kadang meremas seprei, kadang memeluk erat tubuh kurus Mamat yang menindihnya. Wajahnya yang merona merah dan desahannya yang menjadi-jadi menyebabkan pria itu semakin bergairah menyetubuhinya.

“Hhushh…hhh…enak mana Non, tongkol saya…sama si bos?” tanya Mamat di sela-sela genjotannya.
“Aahh…aahh…gak tau Bang !?” Arlene menjawab sambil mendesah.
“Masa…uuhhh…gak tau ?! ayo dong…jawab !!” pria itu meningkatkan tenaga sodokannya sehingga gadis itu semakin mendesah tak karuan.
“Aaauuhh…aahh…iyah…Abang aja deh…aahh…enak !” erangnya semakin erat memeluk pria itu.
“Hheheeh…aahh…siapa dulu…Mamat…bin Abdul Azis !” tidak bosan-bosannya ia membanggakan diri sebagai pemuas wanita nomor satu.
Tiba-tiba Mamat menghentikan genjotannya, ia bangkit dan menggulingkan tubuh gadis itu hingga berbaring menyamping. Kemudian ia mengangkat dan menaikan sebuah pahanya di pundaknya. Kembali ia memasukan penisnya yang basah itu ke vagina sang gadis dan memulai babak selanjutnya dengan gaya menyamping. Dengan gaya demikian tusukan-tusukan penisnya masuk lebih dalam, juga ia dapat lebih leluasa meremas-remas payudara Arlene, kadang ia juga menciumi paha dan betis gadis itu yang ia naikan ke bahunya. Tubuh mereka semakin dipenuhi butir-butir keringat, erangan kenikmatan memenuhi kamar itu. Arlene mengerang panjang, tubuhnya berkelejotan terisi kenikmatan orgasme. Vaginanya berkontraksi cepat dan mengeluarkan cairan bening yang menghangatkan penis yang masih terus keluar masuk disana. Akhirnya dalam waktu kurang dari dua menit penis itu pun berkedut cepat, pemiliknya mengerang dan melepaskan penisnya. Ia berlutut di samping Arlene menyemburkan spermanya membasahi perut dan payudara gadis itu sebelum dia sendiri ambruk.
-------------------------------------------------
“Yang lain udah pada masuk kamar Non, kita juga yuk, ntar kena angin terus masuk angin lagi” ajak Amin sambil menegakkan tubuh Samantha yang masih terbaring lesu di sofa, “tapi kita ke kamar mana nih, villanya gede jadi bingung Bapak”
“Hhmm…saya pikir kita ke atas saja” Samantha mengusulkan.
“Boleh deh ayo Non, saya papahin!” kata Amin bersemangat dan bangkit berdiri.
Saat itu Gozhi yang sebelumnya menjadi partner Sam telah meninggalkan mereka dan naik ke atas, nampaknya ia ingin mencicipi gadis lain karena ia masuk ke kamar tempat Parjo dan Katherine. Amin memapah Samantha yang berjalan agak gontai sehabis dipenetrasi ganda tadi.
“Non nggak apa-apa kayaknya udah lemas banget?” tanya Amin.
“It’s allright, saya hanya sedikit cape” jawabnya dengan tersenyum lemas.
Sambil berjalan naik, Amin ngobrol-ngobrol ringan dengan gadis itu diselingi gurauan cabul, tangannya juga tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan menjamah-jamah tubuhnya.
“Disini Non?” tanyanya ketika berhenti di depan kamar Katherine dan Parjo, suara desahan sayup-sayup terdengar dari dalam.
“No, no, disana saja, supaya lebih private” jawabnya seraya menunjuk ke kamar paling ujung di koridor lantai dua.

Setelah menutup pintu dan menyalakan lampu, mereka langsung menghempaskan diri ke ranjang yang disebelahnya terdapat jendela bertirai.
“Non Sam, kapan terakhir pulang ke sana?” tanya Amin sambil tangannya mengelus rambut pirang gadis itu.
“Pulang Australia? Hhmm…sudah lama, mungkin lebih dua tahun lalu” jawabnya.
“Wah…lama-lama amat? Keluarga Non gak nyariin apa?”
“Ya saya rasa gitu, tapi...disini sudah jadi tempat saya” kata-katanya terdengar lebih pelan dan terkesan menyembunyikan sesuatu.
“Maksudnya Non dah betah di Indonesia gitu ?”
“Please saya nggak mau bicara lagi itu” gadis itu meletakkan telunjuknya di bibir Amin, “saya ingin bercinta lagi, ok?”
Meskipun masih memendam penasaran, Amin diam saja ketika gadis itu menindih tubuhnya dan menempelkan bibir mereka. Mereka berciuman dan bermain lidah sambil berpelukan, nafas keduanya mulai memburu lagi. Sam menggerakan tangannya ke bawah meraih penis Amin yang kembali menggeliat.
“Uugghh!” Samantha mendesah menikmati penis itu menerobos vaginanya.
Dengan kedua tangan mencengkram pinggul Sam, Amin mulai menggoyang tubuh gadis itu. Sam membiarkan pria itu memimpin permainan cinta itu, pinggul pria itu menyentak-nyentak tubuhnya dari bawah sana. Ujung penis pria itu yang keras membentur-bentur dinding terdalam vaginanya sehingga membuatnya mengerang-ngerang keenakan.
“Yes…yes…great!” ceracau Sam setiap kali tubuhnya menghujam ke bawah.
Mulut Amin berpindah-pindah melumat payudara Sam yang berayun-ayun di atas wajahnya, tangannya yang menggerayangi tubuhnya juga kadang singgah di bongkahan daging kenyal itu untuk meremas atau mempermainkan putingnya.

Tak lama kemudian, mereka berguling ke samping, persetubuhan itu terus berlanjut dalam posisi berbaring menyamping berhadapan. Tangan Mamat yang satu memegangi paha gadis itu sementara yang satu lagi mengelusi punggungnya yang sudah bercucuran keringat. Mereka berciuman dengan penuh gairah, tukar-tukaran ludah dan beradu lidah. Masing-masing dapat merasakan hembusan nafas pasangannya yang makin memburu menerpa wajah. Ketika orgasme datang menerpa, Sam melepaskan ciumannya, ia menjerit keras dan pelukannya terhadap pria itu semakin erat. Amin juga melenguh nikmat karena penisnya serasa diremas-remas oleh dinding vagina Sam yang bergerinjal-gerinjal. Ia merubah posisi dengan menelentangkan tubuh gadis bule itu dan masih meneruskan genjotannya karena masih belum mencapai puncak. Namun posisi tersebut tidak berlangsung lama, ketika ia merasa penisnya makin berdenyut-denyut, ia mencabutnya lalu naik ke dada gadis itu. Ia mengapitkan penisnya diantara kedua payudara 34B itu dan mulai menggerakkan pantatnya maju-mundur.
“Huehehe…baru pernah nih ngerasain jepitan toked bule, bini gua sih udah ga bisa diginiin, udah kendor!” katanya dalam hati
Penis itu maju mundur dengan cepat karena dilicinkan oleh lendir yang melumurinya. Semakin dekat ke puncak, pria itu semakin ganas mengocok penisnya diantara dua bukit kembar tersebut. Sam merasakan sedikit perih pada payudaranya yang diremasi dan digesek dengan brutal oleh kuli bangunan itu. Akhirnya pria itu melenguh keras seperti kerbau terluka sambil menembakkan lahar putihnya membasahi wajah, leher dan dada gadis itu.
“Oooww…my godness!” desah Sam menerima semburan itu, ia membuka mulutnya sehingga cipratan itu sebagian masuk ke mulut.
Genjotan dan semburan spermanya semakin Amin lemah, penisnya pun makin menyusut diantara himpitan payudara Sam. Dia pun melepaskan cengkeramannya pada payudara gadis itu meninggalkan bekas merah-merah karena remasan yang kuat. Setelah itu dia pun menjatuhkan diri di sebelah gadis itu.
“Enak?” tanyanya sambil tersenyum melihat gadis itu menjilati jari-jarinya yang dipakai menyeka ceceran spema.
“Eee-emm” angguknya, “enak, I like it”
Amin memeluk tubuh gadis itu dan mencium keningnya sebelum terbuai dalam mimpi.
---------------------------------------------
Dua lidah itu memanjakan penis Parjo dengan jilatan dan hisapan mereka. Buah pelirnya pun tidak luput dari mulut dan tangan keduanya. Selagi yang satu mengisap yang lain mengulum kedua bola itu.
“Sedap Non…sedot terus !!” ceracau Parjo sambil mengorek-ngorek vagina Grace yang sedang berposisi 69 dengannya..
Grace mengoral penis itu dengan tubuh menggeliat-geliat dan sesekali mendesah karena lidah Parjo yang kasap dan hangat itu menyusup ke vaginanya, lidah itu bergerak cepat, menjilati memutar, kadang juga keluar masuk. Ketika penis itu terlepas dari mulut Grace, Katherine langsung ganti memasukannya ke mulut, mereka seperti berebutan menikmati benda itu. Hal itu menyebabkan Parjo semakin liar melumat vagina Grace, lidahnya masuk semakin dalam hingga menyentuh klitorisnya.
“Aahh !” erang gadis itu dengan tubuh bergetar seperti kesetrum.
Parjo membuka bibir vagina itu lebih lebar dengan jarinya sehingga dapat menjilati lebih dalam. Bagian yang merah merekah itu semakin dijilat semakin berlendir saja. Pelayanan kedua gadis itu juga semakin membuat penisnya nyut-nyutan. Karena tidak ingin buru-buru keluar, ia menggeser tubuhnya ke belakang lalu menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang. Ia lalu membentangkan paha Grace yang kini berada di pangkuannya, tangan satunya mengarahkan penisnya yang mengacung ke vagina gadis itu. Penis itu pun perlahan melesak, jeritan nikmat keluar dari mulut gadis itu.

Kejantanan Parjo kini tertanam dalam-dalam menyentuh dinding paling belakang kemaluan Grace. Tanpa disuruh, ia mulai menggoyang-goyangkan pinggulnya, seluruh liang kewanitaannya disodok-sodok oleh batang yang keras dan panas yang menimbulkan gelora birahi yang dahsyat. Katherine pun tidak tinggal diam, ia berlutut di depan mereka dan mengenyoti payudara temannya, tidak lama kemudian mulutnya merambat naik dan bibir tipis kedua gadis itu pun bertemu. Grace memejamkan mata menikmati perlakuan mereka, lidahnya saling belit dan saling jilat dengan lidah temannya itu.
“Eeempphh!” Grace merintih tertahan dan tubuhnya berkelejotan.
Badan gadis itu mulai bergetar keras merasakan serbuan-serbuan kenikmatan menyebar ke seluruh tubuh. Tidak sampai sepuluh menit, Grace mengerang keras, tubuhnya serasa meledak-ledak sehingga mengejang tak terkendali. Selama lima detik ia kehilangan kesadarannya, tubuhnya lunglai dalam dekapan pria itu, keringatnya membanjir, meleleh-leleh di dada dan wajahnya. Parjo pun sudah sangat terangsang, remasan dinding vagina dan siraman cairan orgasme yang hangat membuat kejantanannya makin berdenyut-denyut. Ia segera menurunkan tubuh Grace dan berdiri di ranjang sambil mengocoki penisnya, seakan sudah mengerti kedua gadis itu berlutut di hadapannya. ‘Cret…cret!” cairan putih kental muncrat mengenai wajah keduanya. Mereka berebutan menelan cairan itu, bahkan Katherine meraih penis itu dan mengocoknya agar seolah memompanya agar spermanya keluar.
“Mantap Non…uuh uenak !” desahnya ketika lidah-lidah mereka menjilati batangnya melakukan cleaning service.

Setelah menjilati penis pria itu hingga bersih, Grace menjilati ceceran sperma itu pada wajah temannya. Ia berpagutan mulut dengan temannya sebentar sebelum mulutnya turun lagi menjilati sperma yang menetes di payudaranya.
“Eeengghh !” desah Katherine
Melihat adegan sesama wanita itu, nafsu Parjo bangkit lagi, ia memeluk tubuh Katherine dari belakang. Sekarang keadaan berbalik menjadi Katherine dikeroyok oleh Grace dan Parjo. Tangan pria itu mengelusi vaginanya yang berbulu lebat, jari-jarinya yang nakal menyusup masuk ke bibirnya serta menggosok-gosoknya. Selain itu Parjo juga menjatuhkan ciuman-ciumannya pada leher dan pundak gadis itu. Selesai menjilati payudara temannya, mulut Grace naik lagi dan memagut bibir teman sesama jenisnya. Katherine pasrah turut memainkan lidahnya mengimbangi cumbuan temannya, di samping itu ia merasakan tangan-tangan mereka menggerayangi tubuhnya. Secara refleks ia menggerakan tangannya memegang payudara temannya dan mulai meremasinya. Grace lalu merebahkan tubuhnya ke belakang sehingga Katherine yang dipeluknya ikut tertarik dan menindihnya. Bibir keduanya tidak lepas bahkan semakin larut dalam permainan lidah, payudara mereka berhimpitan dan bergesekan satu sama lain.
“Eeemmhh !” desahan tertahan keluar dari mulut Katherine karena ia merasakan sebuah benda tumpul menekan vaginanya dari belakang.
Pria itu menekan penisnya lebih dalam sehingga tubuh Katherine sedikit mengejang akibat sensasinya.

Tubuh Katherine mulai tersentak-sentak ketika Parjo mulai memompa liang vaginanya. Grace yang berbaring di bawahnya meremas kedua payudaranya dengan lembut sambil memilin-milin putingnya. Sambil menggenjot tangan Parjo juga menggerayangi tubuh kedua gadis itu. Erangan Katherine yang ribut memenuhi kamar itu sehingga pria itu semakin bernafsu menyetubuhinya. Liang vagina gadis itu semakin berlendir menimbulkan bunyi berdecak disamping bunyi tumbukan alat kelamin mereka. Tak lama kemudian, Katherine menggelinjang, tubuhnya menekuk dan lenguhan panjang keluar dari mulutnya. Saat itu, Grace menyedot kuat sebuah putingnya, menimbulkan ledakan kecil yang mengawali serangkaian ledakan-ledakan dahsyat di tubuh Katherine. Gelombang orgasme kali ini lumayan dahsyat sampai tubuh gadis itu tersentak-sentak tak terkendali, kalau saja Parjo tak cukup kuat memeganginya mungkin tubuhnya sudah terlontar keluar ranjang. Cairan orgasme yang keluar dari vaginanya menjadi pelumas bagi penis Parjo sehingga semakin memperlancar gerakan keluar-masuknya. Tiba-tiba pintu terbuka yang membuat mereka menoleh kesana, ternyata yang datang Gozhi yang baru saja menggarap Samantha di bawah sana.
“Wuih…asyik nih lagi main tigaan, bagi-bagi yah Bos jangan maruk sendiri” katanya sambil berjalan ke ranjang.
“Ayo aja Bang, masih ada tempat kok disini!” panggil Grace dengan senyum menggoda.
“Sialan lo, ganggu aja!” omel Parjo dalam hati

Grace menggeser tubuhnya dari bawah Katherine ke sisi sebelah ranjang itu yang masih lowong.
“Wah udah keringetan gini Non, seru yah tadi mainnya?” kata Gozhi ketika mengelus payudaranya.
Si bopeng itu memandang kagum tubuh telanjang Grace yang terbaring di sisinya. Sekali-kalinya dalam seumur hidup bersanding dengan gadis secantik ini setelah mencicipi yang produk ‘luar’ punya. Tubuh gadis ini tidak kalah dari gadis bule yang barusan digarapnya, wajah oriental yang kalem, payudara berukuran sedang yang bulat indah, sepasang paha jenjang yang mulus, dan kemaluan yang berbulu lebat. Gozhi sungguh berdecak kagum sampai tangannya sedikit bergetar ketika menggerayangi tubuh gadis itu.
“Eeehhmm!” desah Grace lirih saat jari-jari gemuk pria itu menggosok-gosok bibir kewanitaanya.
Wajah pria itu mendekati payudaranya, lidahnya menjilati putingnya yang telah mengeras itu memutar membuat lingkaran di sekeliling organ sensitif itu, lalu mulut itu membuka lebar-lebar dan memasukan gundukan kenyal itu ke dalamnya walau tidak semuanya masuk. Mulailah Gozhi mengeyoti payudara Grace seperti bayi yang sedang menyusu, jari-jarinya masuk semakin dalam mengaduk-aduk vagina gadis itu. Sementara di sebelah mereka, Parjo dan Katherine sedang menikmati persetubuhan dalam gaya doggie, hentakan-hentakan tubuh mereka menyebabkan ranjang itu bergoyang hebat.

Gozhi menciumi tubuh Grace inci demi inci, dari payudara, lengan, pundak dan leher. Kemudian ia membalik tubuh gadis itu hingga telungkup, lalu diangkatnya pinggulnya hingga menungging. Grace menahan nafas ketika merasakan kepala penis pria itu menempel di vaginanya dan mulai melesak masuk. Setiap mili gesekan penis itu memasukinya menimbulkan percikan nikmat hingga akhirnya terbenam dalam vaginanya.
“Uuhhh…uenak, sempit yah Non” ceracau Gozhi sambil menggenjot gadis itu.
Tangan Grace mencengram sprei dan bantal, rambut panjangnya yang indah tergerai menyetuh kasur, kedua pahanya membuka lebih lebar seolah meminta pria itu menusuknya lebih dalam. Setiap kali penis pria itu menerobos masuk, ia merasa bagai disiram berliter-liter air hangat yang memijati seluruh tubuhnya, sedangkan setiap pria itu menarik penisnya, ia merasa seperti terhisap pusaran air yang membawanya pada kenikmatan. Dengan mata merem-melek, Grace menjeritkan penyerahan diri sekaligus pertanda datangnya klimaks yang luar biasa. Gozhi merasakan penisnya bagaikan dipilin dan dihisap oleh mulut yang kuat sedotannya. Tanpa dapat tertahankan lagi, pria itu pun memuntahkan spermanya membanjiri rongga kewanitaan Grace yang sedang berkontraksi dilanda orgasme. Gadis itu mengerang dan menggeliat sejadi-jadinya sebelum akhirnya tubuhnya lemah lunglai di kasur. Gozhi menyusul menimpa tubuh putih yang telah licin oleh keringat itu. Nafas keduanya tersenggal-senggal seperti pelari yang baru mencapai finish.

Di sebelah mereka, Parjo dan Katherine masih sibuk bergumul, mereka sebelumnya telah terlebih dahulu mencapai klimaks dan kini mereka sedang memasuki ronde berikutnya. Katherine kini telentang mengangkang di atas tubuh Parjo yang menyentak-nyentakan pinggulnya dari bawah.
“Ngghhh…oohhh…nngghh!” gadis itu melenguh nikmat, ia merasakan bagian bawahnya seperti dibelah dua oleh sebuah batang yang keras dan kokoh.
Ia ikut menggerakan pinggulnya agar vaginanya makin teraduk-aduk oleh penis pria itu. Tubuh Katherine bergetar merasakan serbuan kenikmatan menyebar ke seluruh tubuhnya, terlebih tangan pria itu terus saja meremasi payudaranya, mulutnya juga mencupangi pundak dan lehernya. Kemudian Parjo mendorong punggung gadis itu perlahan-lahan sehingga Katherine akhirnya dalam posisi menduduki penis itu dengan memunggunginya. Mulailah ia menggoyangkan kembali pinggulnya naik-turun, kadang juga berputar. Wajahnya yang manis terlihat semakin menggairahkan dengan rona kemerahan, matanya setengah terbuka dengan pandangan menerawang. Tiba-tiba seseorang memengangi kepalanya, Gozhi, si tambun bermuka bopeng itu telah berdiri di hadapannya dengan dengan penis setengah menegang.
“Isep yah Non!” pintanya cengengesan.
Tanpa menunggu jawaban Katherine, ia sudah menjejali mulut gadis itu dengan penisnya. Desahannya tersumbat, ia sepertinya agak gelagapan menerima penis Gozhi yang masih berlumuran cairan bekas persetubuhannya tadi, namun tak lama kemudian ia sudah mulai bisa beradaptasi. Katherine memainkan menyapukan lidahnya pada penis itu dalam mulutnya disertai kuluman-kuluman nikmat. Tubuhnya tetap naik-turun di atas penis Parjo sambil tangannya meremasi payudaranya sendiri.

Sementara itu Grace terlihat sedang berpelukan dengan Parjo, keduanya terlibat french kiss yang panas. Lidah Parjo masuk ke mulut gadis itu dan menyapu langit-langit mulutnya sambil tangannya mengelusi tubuh mulus itu. Grace pun tidak kalah agresif dalam hal ini, lidahnya beradu dengan lidah kasap pria itu, saling belit dan saling jilat, demikian serunya sampai nafas yang memburu terasa pada wajah masing-masing pasangan. Di ambang klimaks. Katherine memacu tubuhnya semakin cepat dan liar hingga akhirnya ia melepaskan kulumannya terhadap penis Gozhi dan menjerit keras, ia merasakan seperti ada ledakan dahsyat dari dalam tubuhnya, cairan vaginanya berleleran kemana-mana membasahi penis dan selangkangan Parjo. Sungguh persetubuhan yang liar dan erotis, empat orang, dua gadis cantik dan dua pria sangar dalam satu ranjang, berpadu dalam hasrat terliar manusia. Katherine tumbang kelelahan, tulang-tulangnya serasa copot semua, peluh telah membasahi tubuhnya dan nafasnya sudah putus-putus. Kedua pria itu membiarkannya beristirahat dan mulai mengeroyok Grace. Parjo menelentangkan tubuh gadis itu dan mengambil posisi di tengah kedua pahanya yang ia bentangkan lebar-lebar. Penis yang masih tegang dan berlumuran cairan klimaks Katherine itu ditusukannya ke vagina si gadis.
“Ugghh!” Grace mengerang dan menggeliat saat benda itu melesak masuk ke vaginanya.
Sodokan demi sodokan menghantam vagina gadis itu, sementara payudaranya yang ikut terguncang-guncang terus-menerus diremasi, dicubiti dan dikenyot oleh Gozhi.

Dari payudara mulut pria itu terus naik hingga mulut mereka bertemu. Desahan Grace terhambat sementara ketika mereka berciuman dan beradu lidah. Sebentar kemudian, pria tambun itu melepas ciuman dan berlutut di sebelah gadis itu. Tangan kanannya meraih kepala gadis itu dan tangan kirinya memegang penis yang sudah menegang. Grace membuka mulutnya seakan menyambut penis itu masuk ke dalamnya. Ia mengerang tertahan dan memperkuat hisapannya setiap Parjo menyodok dengan kuat, bila Parjo memutar-mutarkan penisnya seperti sedang mengaduk, gadis itu pun melakukan hal yang sama dengan menjilat memutar kepala penis itu dengan lidahnya. Irama persetubuhan mereka pun terjalin dengan indahnya. Hingga satu saat, Parjo frekuensi genjotan Parjo makin cepat sambil menceracau.
“Oooggghhh!” erangnya penuh kepuasan, spermanya segera mengisi rahim gadis itu.
“Mmhhh…eeemmhh !” sebentar kemudian Grace pun mengerang tertahan akibat kepalanya masih dipegangi oleh Gozhi.
Tubuh gadis itu mengejang tak terkendali, kedua kakinya memeluk pinggang pria itu seperti tidak rela pria itu mencabut penisnya yang menancap di vaginanya. Parjo masih melanjutkan genjotannya meskipun kecepatannya makin menurun. Hingga akhirnya orgasme gadis itu mulai surut dan jepitan kakinya mengendur. Ia menarik lepas penisnya yang telah menyusut, begitu benda itu tercabut sperma yang bercampur dengan cairan kewanitaan gadis itu pun turut meleleh keluar.

Parjo merasa sangat puas walau persetubuhan hari ini sangat melelahkan. Dalam hidupnya, inilah persetubuhan terdahsyat yang pernah dialaminya. Ia segera menjatuhkan diri di sebelah Katherine, gadis itu yang tenaganya sudah mulai pulih memeluknya.
“Gimana Pak? Bapak kuat sekali!” katanya sambil mengelus dada Pajo yang bidang.
“Puas banget Non, ini kerja lembur namanya, bisa-bisa besok Bapak ga kuat kerja nih!” tangannya mengelus rambut gadis itu.
“Aaarrgghh…uuhhh keluar Non!” tiba-tiba terdengar lenguhan panjang di sebelah.
Gozhi telah mencapai orgasmenya dari hasil oral seks Grace. Dipeganginya kepala gadis itu sambil berejakulasi di dalam mulutnya. Grace mengerang tertahan, sepertinya dia kepayahan menerima cairan kental itu yang meluap di mulutnya sehingga sebagian menetes keluar di pinggir bibirnya walau ia telah berusaha keras menghisap dan menelannya. Penis itu berangsur-angsur mengecil dalam mulutnya, Grace menuntaskan jurus terakhirnya dengan menyedot kuat-kuat batang itu sekaligus menjilatinya. Ketika benda itu ditarik keluar sudah tak ada sedikitpun sperma yang membekas disitu. Gozhi pun ambruk dengan nafas tersenggal-senggal. Ia masih sempat menyeka sperma yang meleleh di bibir gadis itu dan menyodorkan jarinya untuk dijilati.
“Bang…malam ini, saya akan memakan Abang” kata Grace setengah berbisik dekat telinga Gozhi.
“Ooh…makan? Boleh Non selama masih kuat, makan aja sampai puas…hehehe” Gozhi tertawa lemas sambil meremas payudara gadis itu.
Keempat tubuh telanjang bergelimpangan di ranjang itu, mereka terlibat obrolan ringan dan nakal pasca persetubuhan sebelum Parjo akhirnya berdiri dan mematikan lampu plafon dan menyalakan dua lampu meja. Setelah menarik selimut, mereka pun akhirnya tertidur kelelahan.

11.40 PM
Mamat terbangun karena ada yang menarik selimutnya, ia mengedip-ngedipkan mata setengah sadar, hanya cahaya bulan yang masuk ke kamar itu melalu ventilasi memberi sedikit penerangan disana. Ia menggerakan bola mata ke bawah, benar saja selimut itu memang seperti ada yang menarik pelan-pelan dari bawah. Bret! Sebuah tarikan kuat menyentak selimut itu sehingga tidak lagi menutupi tubuhnya, ia melirik ke sebelah dan menemukan Arlene sudah tidak disana lagi. Mendadak ia merasa ada aura seram menyelubungi kamar itu yang membuat bulu kuduknya berdiri semua, terlebih lagi ia baru menyadari tubuhnya tidak bisa digerakkan seperti mati rasa, demikian pula mulutnya terasa kelu sehingga hanya mampu mengap-mengap tanpa bersuara. Ia memandang sekeliling untuk mencari gadis itu. ‘Deg’, wajah Mamat semakin pucat pasi ketika sebuah tangan muncul dari ujung ranjang sana memegang telapak kakinya, dinginnya tangan berkulit pucat itu seakan merambat ke seluruh tubuhnya. Kepala pemilik tangan itu mulai menyembul di ujung ranjang, perlahan-lahan semakin mempercepat detak jantung pria itu.

Betapa ia ingin meloncat dan berteriak sekeras-kerasnya ketika melihat wajah seram itu, pucat dengan kerut-kerut mengerikan, matanya yang merah menatapnya seolah menembus sampai tulang, namun bagaimanapun ia tidak mampu menggerakan tubuhnya selain lehernya. Ia memejamkan mata sambil komat-kamit mengucapkan doa dan ayat-ayat suci untuk mengusir setan. Baru kali ini ia merasakan ketakutan terbesar dalam hidupnya sehingga mengucapkannya dengan sungguh-sungguh. Tangan dingin itu pun melepaskan cengkramannya. Mamat masih terus berdoa dan komat-kamit berusaha keras agar suaranya keluar. Berangsur-angsur ia mulai merasa lebih tenang dan perlahan-lahan membuka matanya, keringat dingin sudah bercucuran seperti embun di dahi dan tubuhnya. Di ujung ranjang, sosok seram itu sudah tidak ada lagi, ia lalu menengok ke kiri-kanan, kosong, pandangannya kembali ke langit-langit dan berkonsentrasi memulihkan diri. Kini ia mulai dapat bernafas lega, lengannya mulai bisa digerakan. Ia memejamkan mata dan menghirup udara, lalu menghembuskannya…lagi…dan lagi, sebanyak beberapa kali. Hatinya semakin tenang, ia yakin doanya telah berhasil mengusir makhluk itu. Kelopak matanya membuka…matanya melotot kaget dan wajahnya kembali menunjukan ketakutan yang amat sangat melihat makhluk itu telah berdiri di pinggir ranjang dan menatapnya dengan pandangan yang menusuk tajam.
“Waa…!!!” belum sedetik suara itu meluncur keluar dari mulutnya, makhluk itu dengan cepat menerkamnya sehingga ia tidak mampu bersuara lagi.
-------------------------------------
11.44 PM
Amin terbangun karena seolah-olah mendengar suara jeritan, rasa kantuk memang masih menguasainya, namun disaat yang sama ia juga merasakan ingin buang air kecil. Maka supaya dapat melanjutkan tidurnya dengan nyaman, ia memutuskan untuk ke toilet sebentar. Dilihatnya gadis bule itu masih tertidur dengan lelap dalam posisi tengkurap di sampingnya. Perlahan-lahan disingkirkannya tangan gadis itu dari dadanya, ditatapnya wajah manis itu sambil turun dari ranjang.
“Hehe…bener-bener bukan mimpi, ini malem udah dua, besok dua sisanya juga wajib dicicipin” katanya dalam hati dengan girang.
Ia pun berjalan ke toilet, setelah menyalakan lampu ia berdiri di depan kloset dan mengeluarkan kencingnya dengan lega.
“Hhhss…tambah dingin aja nih, jadi beser melulu! Cepetan balik ah biar bisa anget-angetan lagi!” katanya dalam hati.
Setelah menyiram, Amin pun membalik badan bermaksud beranjak dari tempat itu.
“Loh…Non Sam, Bapak ngebangunin yah ? sori nih, pengen kencing sih” sapanya melihat gadis bule itu tiba-tiba berjalan masuk ke kamar mandi.
“Bukan…saya cuma ada masalah dengan tenggorokan saya, makannya bangun” kata Sam memegangi lehernya dengan wajah pucat seperti menahan sakit.
“Emang kenapa Non lehernya, coba sini saya liat” Amin menyingkirkan tangan gadis itu dan melihat ada goresan kecil meneteskan sedikit darah di lehernya, “ini kenapa Non, tadi nggak gini kan?”
Amin menyeka darah itu dengan jarinya, namun betapa kagetnya melihat goresan itu malah membesar dan mengucurkan lebih banyak darah.

“Hah…Non, apa…apa ini?” ia terperangah sambil mundur-mundur.
Matanya melotot seolah tidak percaya pada pandangannya melihat luka itu semakin melebar dan darah semakin bercucuran membasahi leher jenjang itu, yang lebih membuatnya ngeri adalah gadis itu malah tertawa…seram. Amin bergidik ketakutan, bulu kuduknya berdiri semua.
“Huuaaa !!!” ia menjerit kaget melihat kepala itu akhirnya terlepas dari lehernya dan menggelinding di lantai kamar mandi.
“Tolong Pak, sambungkan leher saya !” ucap kepala itu sambil tersenyum mengerikan.
Amin menubruk tubuh tanpa kepala itu hingga terjatuh dan segera berlari ketakutan ke arah pintu, namun ‘blam’ pintu itu menutup dengan sendirinya sebelum ia mencapainya.
“Buka!! Buka…tolong !!” jeritnya sambil memutar-mutar gagang pintu dan menggedor-gedornya.
Suara tawa yang mengerikan memenuhi kamar mandi membuat pria itu semakin ketakutan, kaki-kakinya gemetaran sampai tidak kuat untuk berdiri. Ia menengok ke belakang melihat tubuh tanpa kepala itu sudah berdiri lagi dan meraih kepalanya di lantai. Nyali Amin semakin ciut saja melihat pemandangan seram itu, apalagi pintu itu tetap kokoh walau sudah didorong dan digedor.
“Ampun…pergi!! Jangan ganggu saya !!” Amin meringkuk ketakutan di sudut
Makhluk itu semakin mendekatinya sambil menenteng kepalanya, darah mengalir deras dari lehernya yang terpotong membasahi tubuh dan lantai marmer di bawahnya.
“Wwhuuaaa !!” jerit pria itu sekeras-kerasnya.
-----------------------------------------------
11.45 PM
“Uuuhh…Non Katherine sini, Grace juga !” Parjo mengigau dalam tidurnya, masih terbayang-bayang percintaannya yang panas dan liar dengan gadis-gadis itu tadi.
Ia berguling ke samping mengganti posisi tidurnya, tangannya memeluk tubuh Katherine yang berbaring di sampingnya. Namun ia merasa aneh kenapa yang dirasakan di telapak tangannya bukannya kulit yang halus malahan kasar dan agak becek, di beberapa bagian malah seperti kulit kering. Selain itu juga mulai tercium aroma tidak sedap, seperti bau daging hangus dan anyir darah. Ia membuka sedikit matanya untuk melihat karena merasa tidurnya terusik.
“Hah !” Parjo menjerit kaget, rasa kantuknya langsung hilang seketika melihat makhluk bertubuh hitam terbakar dan berwajah rusak melepuh itu menatapnya dengan sorot mata menyeramkan.
Sontak ia pun tersentak dan jatuh dari ranjang, belum hilang kekagetannya melihat makhluk bertubuh hangus itu, ia seperti shock melihat temannya, Gozhi dalam kondisi sangat mengenaskan. Perut tambun pria itu telah terbelah dan Grace yang berlutut di sebelahnya sedang mengorek-ngorek isi perutnya dan melahapnya. Mata Gozhi masih terbelakak dan wajahnya masih memperlihatkan ketakutan yang amat sangat, nampaknya ia mati di tengah teror mental yang sulit dilukiskan. Tidak ada lagi Grace yang anggun dan memiliki innocent beauty, yang ada hanyalah sesosok makhluk berwajah pucat dan rusak sebelah yang buas seperti binatang pemangsa dengan tangan dan mulut berlumuran darah. Darah juga berceceran di ranjang empuk itu, suasana kamar dengan hanya dua lampu meja yang menyala dan cahaya bulan dari jendela semakin membuat bulu kuduk berdiri.

“Setan…se-setan!” ucap Parjo bergetar, “pergi !”
Makhluk bertubuh terbakar itu turun dari ranjang dan mulai mendekatinya. Parjo gemetaran melihat wujud mengerikan dari makhluk itu, wajah yang melepuh, daging yang nampak di beberapa bagian tubuh, bahkan kerangkanya menyembul keluar di sebagian rusuk dan tulang keringnya, inikah gadis yang barusan bercinta dengannya? rasanya sulit untuk dipercaya. Saat itu terdengar suara jeritan dari kamar lainnya, Parjo yakin temannya yang lain pun sedang mengalami hal serupa dengannya. Ia berlari ke arah pintu dan menekan-nekan gagangnya namun tidak mau membuka.
“Jangan mendekat….pergi…pergi!”
Parjo merasa mual dan mau muntah melihat Grace melahap usus Gozhi yang ditarik keluar dari perutnya, ia menikmati mangsanya sambil menyeringai pada pria yang dirundung ketakutan itu. Ia semakin cepat menekan-nekan gagang pintu dan menarik-nariknya, apalagi Katherine juga semakin mendekatinya. Ia mendorong makhluk bertubuh hangus itu dan menarik pintu itu sekuat tenaga. ‘Brak’ pintu pun terbuka dan Parjo agak terhuyung ke belakang oleh tenaganya sendiri.
“Tidak!!” jeritnya melihat dua makhluk seram lainnya sudah berdiri di ambang pintu, yang satu berwajah pucat dan menyeramkan, yang lain tidak berkepala dengan tubuh berlumuran darah, tangannya menenteng kepalanya yang tersenyum mengerikan dan tangan satunya menenteng kepala Amin yang tercerabut berikut tulang belakangnya.
“Hhhyyii…jangan…ampun…jangan sakiti saya !” mohon Parjo yang tersungkur di lantai, ia tidak mampu berdiri lagi, tenaganya seolah hilang akibat rasa takutnya, apalagi melihat kepala Amin yang dilempar di hadapannya.
Matanya semakin melotot ngeri dan jantungnya semakin berdetak seiring langkah makhluk-makhluk seram itu mendekatinya sebelum akhirnya semuanya menjadi gelap baginya.

################

Dua hari kemudian
Hilangnya empat pekerja bangunan yang sedang merenovasi villa itu cukup menggemparkan. Daerah yang biasanya sepi dan tenang itu dipenuhi polisi dan warga sekitar yang ingin mengetahui kejadiannya. Polisi sibuk menyisir daerah sekitar dan menanyai penduduk setempat namun tak menemukan petunjuk yang mengarah kesana. Mereka sempat mewawancarai penduduk lokal seorang pria berusia paruh 60an yang dulu pernah bekerja menjaga villa di seberangnya. Dari ceritanya diketahui bahwa empat tahun yang lalu putri tunggal pemilik villa tersebut tewas dalam kecelakaan lalu lintas ketika dalam perjalanannya ke villa untuk berlibur. Tiga temannya, termasuk seorang warga negara asing, yang dalam satu kendaraan juga turut menjadi korban ketika ‘panther’ yang mereka tumpangi menubruk sebuah truk yang dikemudikan sopir ugal-ugalan. Keempat gadis itu tewas dalam kondisi mengenaskan sementara si sopir truk hanya menderita luka-luka. Hari kematian mereka adalah tepat dua hari yang lalu dan sejak tragedi itu si pria tua mengaku beberapa kali mengalami kejadian aneh di villa itu mulai dari suara-suara tanpa wujud hingga penampakan sekilas putri si pemilik villa itu. Kematian putri semata wayangnya, membuat si pemilik villa yang juga pengusaha kaya sangat terpukul, ia menutup villa itu dan hendak menjualnya namun hingga kini belum laku, sehingga villa itu mulai terlantar dan tidak terawat.

Cerita berbau mistis itu tentu saja tidak terlalu ditanggapi oleh polisi apalagi mereka tidak menemukan apapun yang aneh di dalam villa itu selain perabotan berdebu, kolam renang kosong yang hanya menampung sedikit air hujan dan dedaunan rontok, dan halaman belakang yang ditumbuhi rumput yang yang tak terurus. Di kota sendiri berita itu tidak terlalu menjadi perhatian, surat kabar hanya meliputnya dalam berita sampingan dan televisi hanya menayangkannya hanya sekitar dua-tiga menit. Hanya majalah-majalah mistik murahan yang meliputnya agak heboh disertai judul yang bombastis dan pembahasan-pembahasan yang dilebih-lebihkan seperti menjadi korban roh penunggu villa lah, melakukan perbuatan terlarang sehingga mengusik yang menunggu wilayah itu lah, roh penasaran pemilik villa mencari tumbal lah, dll. Polisi semakin frustasi karena tidak ada petunjuk apapun yang mengarah pada menghilangnya mereka, keempatnya bagaikan lenyap ditelan bumi. Keluarga mereka semakin pesimis akan pencariannya hingga akhirnya memasrahkan kehilangan orang dekat mereka yang misterius itu dengan berat hati.

###########################

Setahun setelah peristiwa itu
Senja pukul setengah tujuh, nampak di lapangan basket yang termasuk salah satu fasilitas di kompleks villa elit itu enam orang pemuda sedang bermain basket setengah lapangan. Mereka berlari, mengoper bola, melompat, dan memasukan bola dengan lincah. Nampaknya mereka sudah bermain cukup lama karena tubuh mereka telah bermandikan keringat. Seorang dari mereka sedang mendrible bola dan memutar-mutarkan di sekitar tubuhnya mencari celah untuk mengoperkan bola itu pada temannya. Dalam satu kesempatan ia melempar bola itu, namun terlalu kuat dan tidak tertangkap oleh temannya. Bola itu pun terlempar jauh keluar lapangan hingga akhirnya jatuh menggelinding di tanah. Saat itu dua orang gadis sedang melintas di pinggir lapangan, salah seorang dari mereka yang berambut hitam panjang memungut bola itu.
“Oi…thanks ya bolanya” seorang dari mereka yang bermaksud mengambil bola mendekati kedua gadis itu, “lagi liburan juga nih kalian?”
Pemuda itu memandang kagum pada gadis cantik yang berambut seperti model iklan shampo itu, tubuhnya dibungkus oleh kaos u can see hitam dan celana pendek. Gadis yang satunya yang memakai gaun terusan mini bermotif bunga juga tak kalah cantik, ia memiliki rambut kemerahan agak bergelombang.
“Ya gitulah lagi jalan-jalan cari angin aja, biar ga suntuk di villa terus” jawabnya.
“O ya, sekalian kenalan dong, saya Rio” kata pemuda itu sambil mengulurkan tangan.
“Grace” gadis itu balas menjabat tangannya dan tersenyum manis, “ini Arlene, dia yang punya villa” ia juga memperkenalkan temannya.

Melihat Rio malah ngobrol dan berkenalan dengan kedua gadis itu, kelima temannya yang lain pun datang mendekati mereka.
“Nah...ini temen-temen gua, kita cowok enaman, lagi liburan disini” kata Rio memperkenalkan teman-temannya satu-persatu.
Setelah berkenalan mereka berbasa-basi sambil sesekali curi-curi kesempatan melihat bagian tubuh kedua gadis itu melalui pakaian mereka yang minim.
“Hhmm…kalau gitu kebalik yah, kita empatan cewek semua nih” kata Arlene.
“O gitu, emang kalian villanya dimana siapa tau deket sama kita ?” tanya salah seorang dari mereka yang berambut spike.
“Itu tuh yang warna putih dua tingkat itu !” jawabnya seraya menunjuk ke bangunan yang terletak agak tinggi di atas.
“Wah gak terlalu jauh ya, kita agak kesana belakang villa yang pagarnya tinggi itu tuh” kata Rio yang adalah pemilik villa tersebut.
Kedua gadis itu nampaknya cukup supel dan mudah bergaul sehingga mereka mudah akrab, sebentar saja mereka sudah ngobrol dan tertawa-tawa seperti teman lama.
“Eehh…iya nih, kita kan malem ini mau BBQ-an, ntar kalian kalau mau dateng aja yah, kita cewek-cewek kayanya ga bakal sanggup abis semua” kata Grace.
“Wah…kedengerannya boleh juga tuh, kalau bikinan cewek kayanya makanannya lebih enak, kita dari kemaren beli di luar, waktu masak sendiri rasanya jadi gak karuan haha” kata seorang dari mereka.

“Hhmm, gini aja deh, sekarang kita semua pulang mandi dulu, terus main ke lu orang sana ok?” kata Rio.
“Ya udah kita tunggu yah, itung-itung bagus juga ada cowok, jadi nanti lu orang yang bantu beres-beresnya hehe” kata Arlene tertawa renyah.
“Ok beres, siapa takut, ntar kita main kesana deh” kata yang berkacamata.
Mereka pun akhirnya saling melambaikan tangan dan kembali ke tempat masing-masing.
“Wew, mantap coy, kita bakal bareng cewek malem ini, cakep-cakep lagi”
“Iya nih jadi ga batangan melulu hahaha”
“Bisa party nih, huehehe” kata salah seorang dengan nada mesum, “enam lawan empat, ada yang keroyokan dong!”
“Party apa yeee…lu mah mupeng aja” kata yang berambut spike itu sambil menepuk punggungnya.
Mereka berjalan pulang ke villa sambil tertawa-tawa dan bersenda gurau. Mereka ingin cepat-cepat mandi segar dan bertemu gadis-gadis itu, rasa senang bercampur sedikit bayangan mupeng ala anak muda memenuhi pikiran mereka.
------------------------------------------------------------
“Gimana menurut lu yang kali ini?” tanya Arlene sambil berjalan.
“Hhhmm…not bad, yang jelas lebih keren en berkelas dibanding yang tahun lalu, cuma kuli bangunan” jawab Grace
“Enam orang, sepertinya bakal lebih seru dari tahun kemaren”
“Tapi kayanya yang kali ini kalah perkasa dibanding mereka dulu, but that’s all right, lebih cakep sih hehe”
“Kalau gua perhatiin, si Rio itu keliatannya kesengsem sama lu deh, daritadi ke lu terus ngobrolnya, ngeliatin terus, dari sorot matanya aja keliatan” kata Arlene, “gua jadi inget waktu masih hidup dulu, ex gua waktu SMA dulu juga mirip gitu kenalnya, cuma di lapangan bulutangkis, waktu POR” lanjutnya mengenang masa lalu.
“Hihihi…sepertinya emang gitu, yah seengganya sampai dia liat yang gini” Grace menengokan wajahnya yang pucat dan hancur sebelah ke temannya.
Keduanya pun tertawa cekikikan.

THE END

Label

Pengikut

Total Pengunjung